Lihat ke Halaman Asli

Odi Shalahuddin

TERVERIFIKASI

Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Selintas tentang Teater Modern Indonesia

Diperbarui: 29 Maret 2022   06:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teater Indonesia dalam |https://seputarteater.wordpress.com

Teater modern, suatu istilah yang dikaitkan dengan pengaruh dari Barat. Ciri utamanya lakon-lakon yang dimainkan menggunakan naskah tertulis. Dapat dikatakan, Teater Modern  mulai tumbuh sejak  tahun 1920-an (utamanya dalam hal kesusastraan yang terkait dengan lahirnya naskah-naskah lakon, yang diawali dengan Bebasari karya Rustam Effendi di tahun 1926).

Geliatnya mulai tampak pada tahun 1940-an, dan yang dinilai menonjol adalah Sandiwara Penggemar Maya, yang pegiatnya kemudian dikenal sebagai pendiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Kelompok lain yang dapat disebutkan  diantaranya: Tjahaja Asia (Juli 1942) yang kemudian berganti nama menjadi Bintang Djakarta (Oktober 1942), Bintang Surabaya (1942) Tjahaja Timur (1943), Ratu Asia (1943 -- Padang Panjang), Pantjawarna (1945), Raksi Seni (Juli 1948 -- Yogyakarta), dan Front Seniman (Yogyakarta).

Gagasan mendirikan sekolah drama, yang menurut Rosihan Anwar[i] telah digagas sejak tahun 1942, penting untuk segera direalisir. Sebelum Agresi Militer Belanda ke 2, Kementerian Penerangan telah mendirikan Cine Drama Instituut (CDI) dengan Direktur Mr Sudjarwo, wakilnya Iskak, dan urusan administrasi Pak Kasur. Yogya yang diduduki Belanda membuat CDI hanya bertahan dua bulan, selanjutnya ditutup. Kongres Kebudayaan di Magelang yang melahirkan Lembaga kebudayaan Indonesia, salah satu hasilnya merekomendasikan pendirian sekolah sandiwara.

Ini direalisir oleh Sri Murtono (Front Seniman) dengan mendirikan Sekolah Seni Drama dan Film pada tahun 1950, di mana ia menjadi Kepala Sekolahnya.  Ini yang tampaknya menjadi cikal bakal berdirinya Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) pada tanggal 3 November 1952.[ii] Menyusul kemudian pada pertengahan tahun 1955 berdiri ATNI di Jakarta (kemudian membuka cabang di Solo  pada Maret 1958 dan Bandung) yang oleh Brandon dinyatakan sebagai Akademi Teater Modern yang pertama di Asia Tenggara. Para alumni ASDRAFI dan ATNI inilah yang banyak berperan dalam menggerakkan Teater di berbagai wilayah di Indonesia.

Awal tahun 1950-an, bermunculan berbagai kelompok teater yang aktif melakukan pementasan. Kota-kota yang menonjol adalah Solo, Jogjakarta, Bogor, Jakarta, Bogor, Singaradja.[iii] Maraknya kegiatan Teater Modern juga tumbuh di  Bandung, Medan, Makassar, Padang. Palembang. Festival-festival teater mulai diselenggarakan.[iv] Di akhir tahun 1950-an disebut terjadi "krisis kebudayaan" yang juga berpengaruh terhadap "krisis teater".   

Pada tahun 1962, untuk pertama kalinya diselenggarakan pertemuan nasional di Yogyakarta yang melahirkan federasi teater Indonesia yang dikenal dengan nama Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI). Pada tahun 1960-an, bermunculan lembaga-lembaga kebudayaan, utamanya yang berlatar belakang partai politik dan agama, yang juga memiliki organisasi Teater sebagai reaksi dari gerakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Di luar Gedung Kesenian Jakarta yang menjadi tempat pementasan "bermutu" adalah pementasan-pementasan yang dilangsungkan di Bali Room Hotel Indonesia.[v] Di tempat inilah kemudian lahir Teater Populer Hotel Indonesia yang memiliki jadwal pementasan rutin sebulan sekali. 

Berdirinya Taman Ismail Marzuki yang kegiatan-kegiatannya dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta, yang diresmikan pada November 1968, dengan salah satu mata acaranya adalah pementasan teater (Teater Populer HI, Teater Kecil dan BPTNI[vi]) menjadi satu tonggak berkembangnya teater modern di Indonesia.

Tiga kelompok teater mendapatkan fasilitas dari DKJ untuk tampil secara rutin di TIM setiap tiga bulan sekali, yakni Teater Populer, Teater Kecil dan Bengkel Teater, yang mana ini terkait dengan target bahwa setidaknya ada pementasan Teater minimal sebulan sekali. 

Tampaknya inilah yang memunculkan julukan "Tiga Pendekar" teater yakni Teguh karya, Arifin C. Noer dan WS Rendra.Di luar tiga kelompok tersebut, dilakukan seleksi yang cukup ketat bagi kelompok yang ingin melakukan pementasan di TIM, atau jikapun dapat tampil terkait dengan event yang diselenggarakan seperti "Drama Tiga Kota", "Drama Empat Kota" dan sebagainya. Tercatat diantaranya kelompok dari Bandung, Surabaya, Kudus, Makasar, Medan, Bogor, Banjarmasin, Bandar Lampung, pernah mendapat kesempatan pada rentang tiga tahun awal berdirinya TIM. 

Diselenggarakannnya Festival Teater Remaja (FtR) pada tahun 1973 menjadi titik baru yang membangkitkan gairah bermunculannya kelompok-kelompok teater khususnya di Jakarta. Perangsang yang diberikan adalah adanya "uang pembinaan" bagi kelompok terbaik dan bagi kelompok yang mendapatkan predikat terbaik selama tiga tahun berturut-turut mendapatkan fasilitas melakukan pementasan di TIM. FTR yang kemudian berubah nama menjadi Festival Teater Jakarta (FTJ) masih berlangsung rutin setiap tahun hingga saat ini. (***)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline