Catatan 47 Tahun Teater Alam Yogyakarta (1): Kelahiran Teater Alam Yang Menantang
Tanggal 4 Januari 1972 dinyatakan sebagai hari kelahiran Teater Alam. Kini usianya telah memasuki angka 47 tahun. Sebagai sebuah kelompok kesenian, apalagi teater, ini merupakan prestasi tersendiri. Tidak banyak kelompok kesenian yang mampu bertahan lama. Sebut saja di antaranya, Sandiwara Miss Tjitjih (1926) Studiklub Teater Bandung (1959), Sanggarbambu (1959), dan Teater Koma (1978), yang hingga saat ini masih terdengar geliat aktivitasnya.
Memang, dalam tiga dekade terakhir, Teater Alam tidaklah seproduktif pada dua dekade awal (1970-1980-an), namun pada setiap dekade mereka tetap hadir menyuguhkan repertoire yang menarik perhatian publik dan dinilai sebagai pertunjukan bermutu.
Di tahun 1990-an setelah tertidur lama selama delapan tahun, Teater Alam membuat pentas pemanasan "Bip Bop", pada 13 September 1998 dan tahun berikutnya mementaskan sekaligus Trilogi Oedipus Complex selama 9,5 jam dan dapat dinilai sebagai rekor pertunjukan terpanjang pada masa itu, yakni: "Oedipus Sang Raja", "Oidipus di Kolonus" dan "Antigone" karya Sophocles, yang disutradarai langsung oleh Azwar AN, 15 & 17 Juli 1999 di Gedung Purna Budaya Yogyakarta.
Di tahun 2010, setelah lama tertidur lagi, hadir dengan "Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek" karya Danarto (11/6) dan "Petang di Taman" (12/6) karya Iwan Simatupang dengan sutradara Puntung CM Pudjadi dan Tertib Suratmo. Pementasan yang dilangsungkan di Concert Hall Kridosono ini sebagai peringatan Ulang Tahun Teater Alam yang ke-38.
Selanjutnya di tahun 2017, "Perkawinan"-nya Nicolai Gogol dimainkan di Gedung Societet Yogyakarta dengan sutradara Meritz Hindra, guna memperingati 45 tahun Tater Alam. Pementasan yang paling akhir, 8 November 2018, tampil dalam "Montserrat" karya Emmanuel Robles dengan para pemain lintas generasi yang disutradarai oleh Puntung CM Pudjadi, bertempat di Concert Hall Kridosono. Pementasan ini merupakan produksi ke 57.
Kelahiran Teater Alam di awal tahun 1972, barangkali menjadi momentum yang tepat sekaligus sangat menantang. Hal ini sangat disadari oleh para pendirinya.
Pada masa itu disebut-sebut tengah terjadi kemunduran Teater Modern. Geliat teater mulai tumbuh dengan kehadiran Taman Ismail Marzuki yang diresmikan pada tanggal 10 November 1968, dan dalam rangkaian acara pembukaannya menghadirkan pementasan dari Teater Populer Hotel Indonesia, Teater Kecil dan Badan Pembina Teater Nasional indonesia (BPTNI), selanjutnya menjadi wilayah yang prestisius dengan penguasa-penguasa baru yang memiliki kekuasan besar untuk menentukan kelompok siapa yang dapat tampil.
Konon kriteria yang diterafkan sangat ketat, dan hanya tiga kelompok yang dapat menikmati fasilitas pementasan rutin setiap tiga bulan sekali, yaitu: Teater Populer, Teater Kecil dan Bengkel Teater Yogyakarta, sehingga setidaknya dalam satu bulan ada satu pementasan teater. Ketiga pimpinan kelompok tersebut juga yang kemudian dikenal sebagai (dijuluki oleh Majalah Tempo) "Tiga Pendekar" atau tiga pahlawan Teater Modern.
Pada Pekan Seni Kontemporer 1971, pementasan sandiwara kosong, dan pertunjukan di TIM juga tersendat-sendat. Ini dikarenakan para dedengkot teater tengah bersibuk ria dalam dunia per-film-an untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan hidup kelompok teaternya. Kecenderungan ini yang mendorong Majalah Tempo, edisi 12 Agustus 1972 membuat Liputan Utama tentang Teater! Sedangkan di Yogyakarta, pada masa itu, Bengkel Teater merupakan raja, yang membuat kelompok-kelompok teater lainnya surut atau mengambil wilayah lain untuk menunjukkan kreativitasnya. Seperti Teater Muslim, satu kelompok yang berjaya di tahun 1960-an, yang kemudian lebih cenderung berekspresi melalui media TVRI dibandingkan panggung.
"Sekedar turut berusaha untuk membantu meletakkan dunia teater Indonesia pada tempatnya yang layak. Saya sangat prihatin melihat perkembangan dunia teater kita yang baru saja mulai tumbuh ini, karena telah terancam oleh kepindahan orang-orang teater kita ke dunia perfilman. Kalau keadaan ini berlarut-larut, maka pasti dunia teater kita akan kembali gelap," demikian dijelaskan oleh Azwar AN tentang kehadiran Teater Alam saat diwawancarai Mimbar Umum (30/1 72).