[caption id="attachment_255047" align="aligncenter" width="448" caption="Angger Jati Wijaya"][/caption]
Thukul adalah salah satu korban dari sejumlah korban yang dialami oleh para aktivis pro-demokrasi pada masa rejim otoritarianisme milisteristik yang melakukan desimbolisasi terhadap gerakan-gerakan yang melahirkan sosok-sosok yang menjadi simbol dengan menggunakan persepektif di luar Negara.
“Kita tentunya teringat pada Muhammad Safrudin atau Udin di wilayah jurnalistik, Marsinah di ranah perburuhan, dan sejumlah aktivis pro demokrasi lainnya yang telah dihilangkan secara paksa yang hingga saat ini tidak diketahui rimbanya, tanpa mendapatkan kepastian berada di mana. Tindakan-tindakan terhadap mereka adalah sebagai upaya de-simbolisasi yang dilakukan oleh rejim penguasa Otoritarian militeristik,” demikian dikatakan Angger Jati Wijaya, seorang aktivis pro demokrasi yang juga dikenal sebagai budayawan muda, semalam (19/5) saat orasi pada acara “Ziarah Kebudayaan: Susilo Adinegoro Membaca Wiji Thukul”.
Acara yang berlangsung santai di warung angkringan Kopi Joss Pak Antun yang berada di depan kantor Pertamina, Jln. Mangkubumi, dihadiri oleh sejumlah seniman dan aktivis dari kalangan masyarakat sipil.
Angger Jati menyampaikan ada beberapa bentuk desimbolisasi yang dilakukan seperti penghancuran reputasi, pembunuhan karakter, adu domba dengan mengelola konflik, teror dan penghilangan paksa yang berupa penculikan pembunuhan dan sebagainya.
Thukul memang bukan orang pertama yang langsung dihilangkan secara paksa. Ada masa ia menghilangkan diri, muncul kembali, hilang, dan dihilangkan secara paksa. Hilangnya Thukul dan sejumlah aktivis terjadi pada saat rejim Orde Baru mengevaluasi secara mendasar atas kekhawatiran terhadap munculnya simbol-simbol yang mampu mengusung perspektif lain di luar negara.
”Thukul adalah salah satu tokoh yang hampir muncul sebagai simbol perlawanan yang berdiri dan menjadi contoh kongkrit. Oleh karena itu rejim sangat berkepentingan untuk menyelenggarakan sesuatu yang disebut sebagai proyek desimbolisasi,” tambah sosok yang merupakan salah satu pendiri dan pada saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
Mantan Ketua Dewan Pengurus Forum LSM DIY pada periode akhir tahun 1990-an ini memaparkan beberapa upaya desimbolisasi yang pernah berlangsung. Penghancuran reputasi, misalnya, dilakukan dengan jalan mencegat angkutan berisi massa yang akan melakukan aksi, dan di dalamnya ditemukan bom-bom molotov yang entah siapa yang meletakkan. Atau tiba-tiba di kamar aktivis ditemukan narkoba.
Penghancuran karakter, yang tampaknya hingga saat ini juga masih berlangsung, saat seorang aktivis memiliki kesalahan berupa cacat moral atau melakukan kejahatan moral, maka segera digerakkan media untuk mem-blow-up kasus tersebut sedemikian rupa sampai mengalami kehancuran. Ia contohkan kasus seperti ini diantaranya terjadi pada Mulyana W. Kusuma dan Antasari.
Langkah desimbolisasi juga dilakukan dengan melakukan penaklukan secara sosial dan ekonomi yang ditandai dengan tawaran-tawaran kenikmatan pragmatis kepada para aktivis untuk menduduki kursi strategis di dalam kekuasaan.
”Meski agak pahit untuk mengingatnya, kita bisa mendaftar sejumlah nama. Ada puluhan atau ratusan teman-teman yang dulu sangat heroik, menampakkan dirinya begitu mudah ditaklukkan secara sosial dan ekonomi, dan itu mereka nikmati. Sikap oposisi justru digunakan sebagai tiket atau batu loncatan,” keprihatinan disampaikan Angger Jati.
[caption id="attachment_255051" align="aligncenter" width="300" caption="Budhi Wiryawan, kompasianer membacakan puisinya untuk Thukul "]
[/caption]
Angger Jati Wijaya, yang juga merupakan salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mengingatkan bahwa proses desimbolisasi juga dilakukan oleh rejim saat ini. ”Meski tidak sevulgar pada masa rejim Orde Baru, pada saat ini rekonsolidasi .militerisme secara sistematis tengah berlangsung. Prinsipnya pola itu masih terus dan akan selalu diterapkan. Sayangnya, masyarakat sipil melakukan pembiaran terhadap reformasi hukum dan kelembagaan TNI yang mandeg juga dengan tidak diutak-atiknya sejumlah hal yang pada masa lalu menjadi bagian penting dari menu reformasi untuk menarik mundur TNI dari kancah masyarakat sipil,”.
Terkait dengan acara yang dipandu oleh Ons Untoro, selain Susilo Adinegoro yang tengah melakukan ziarah budaya membaca Wiji Thukul, turut membacakan puisi adalah Budi Whiryawan, Eko Winardi, Tri Wahyu KH, Sri Sulandari, Aris, dan lain-lain.
Susilo Adinegoro menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan acara di warung angkringan yang berlangsung apa adanya, tanpa embel-embel banner acara, yang bisa berlangsung santai, tapi dapat membuka ruang dialog untuk merefleksikan perjuangan gerakan sosial.
Malam itu juga selepas acara, Susilo menuju Muntilan, berdialog dan membacakan puisi di sebuah kampung dari komunitas kesenian tradisi yang telah menunggunya. Setelah perjalanan ke Bali, Jakarta, Semarang dan Yogyakarta, kota-kota yang akan disinggahi kemudian adalah Salatiga, Jombang, Tulung Agung, Malang, Surabaya dan Jember
Oh, ya Selamat memperingati Hari Kebangkitan Nasional...
Merdeka, sejahteralah bangsa kita..
Yogyakarta, 20 Mei 2013
Keterangan: Foto-foto hasil jepretan Bung Aant Faizin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H