Lihat ke Halaman Asli

Odi Shalahuddin

TERVERIFIKASI

Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Mulai dari SBY, Saatnya Para Pemimpin Mendengar Suara Anak

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebenarnya tidak ada niat bagi saya untuk merespon tentang peristiwa dalam puncak Peringatan hari Anak Nasional yang berlangsung pada tanggal 29 Agustus 2012 di teater IMAX Keong Mas, TMII, Jakarta.

Acara yang dihadiri oleh presiden dan para petinggi negeri ini diantaranya Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Kapolri dan beberapa Menteri, diikuti sekitar 500-an perwakilan anak dari seluruh penjuru Indonesia, telah menjadi perhatian para kompasianer, dan dua tulisan diantaranya juga menarik perhatian admin untuk menayangkannya menjadi headline.

Puncak peringatan Hari Anak Nasional yang biasanya diselenggarakan pada tanggal 23 Juli, pada tahun ini memang diundur. Pengunduran jadwal ini telah membangkitkan protes dari para aktivis anak dengan menuduh bahwa presiden mengabaikan kepentingan anak-anak. Protes yang direspon dengan penjelasan dari juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, "Tapi itu hal biasa kalau perayaan hari tertentu, lalu ada suatu keadaan, alasan yang baik, lalu diundur," katanya.

Namun, setelah membaca pemberitaan dan tanggapan para kompasianer atas peringatan HAN 2012, ingatan saya melayang ke beberapa perayaan HAN pada tahun 2010 dan 2011, yang dinilai justru menciderai hak anak, utamanya hak anak untuk menyampaikan pandangannya.

Pada tahun 2010, anak-anak mengalami kekecewaan mengingat delegasi anak yang telah siap di lokasi acara akan membacakan “Suara Anak Indonesia” yang dihasilkan dari Kongres Anak Indonesia (yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu ada dalam agenda), tiba-tiba dibatalkan dengan alasan tidak tersedia waktu yang cukup. Pencideraan lain terjadi tatkala seorang anak “ditoyor” oleh salah seorang yang diduga sebagai anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Bahkan beberapa aktivis anak menyebut peristiwa ini sebagai tragedy hari anak (saya menulis tentang ini di SINI dan di SINI)

Pada tahun 2011, kembali pembacaan “Suara Anak Indonesia” hasil kongres anak tidak dimasukkan dalam agenda. Hal ini mengakibatkan timbulnya protes dari penyelenggara dan para peserta Kongres Anak untuk merayakan sendiri hari anak di Bandung, dan tidak menghadiri Puncak Peringatan Hari Anak (beberapa tulisan tentang ini saya posting di SINI ).

Pada tahun ini, kembali ada peristiwa yang menarik perhatian, ketika SBY, sang Presiden melakukan teguran kepada anak-anak yang mengantuk/tertidur saat ia berpidato.

Rangkaian peristiwa tiga tahun berturut-turut yang terjadi pada setiap peringatan Hari Anak, bisa menjadi bukti bahwa sensitifitas terhadap kepentingan anak belum sungguh-sungguh menjadi bagian dari kebijakan Negara  dan menjadi sikap yang terjaga dari para pemimpin negeri ini.

Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi para pemimpin negeri untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk memenuhi hak-hak anak, terutama terkait dengan hak anak untuk menyatakan pandangan-pandangannya yang menjadi salah satu prinsip dasar dari Konvensi Hak Anak (prinsip dasar lainnya yakni: non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, dan hak hidup dan kelangsungan hidup).

Diakui bahwa Indonesia telah menunjukkan kemajuan luar biasa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam berbagai instrument internasional tentang anak, diantaranya: diratifikasinya Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tertanggal 25 Agustus, meratifikasi Konvensi ILO No. 138 tentang usia miminum diperbolehkan bekerja dan Konvensi ILO no. 182 tentang Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, juga belum lama ini pada tanggal 26 Juni 2012  telah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata serta protokol Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. Indonesia juga telah mengesahkan Undang-undang Perlindungan Anak (No. 23 tahun 2002).

Terobosan yang radikal bisa dilihat pula dari kebijakan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengenai Kabupaten/kota layak anak (lihat Permeneg PP&PA  No. 2 dan 3 tahun 2009; Nomor 11, 12, 13, & 14 tahun 2011), juga tentang kebijakan partisipasi anak dalam pembangunan (Permeneg PP & PA Nomor 3 & 4 tahun 2011).

Kemajuan di tingkat peraturan perundangan, sudah selayaknyalah ditindaklanjuti dengan praktik-praktik pengelolaan Negara sehingga anak-anak benar bisa menikmati hak-hak mereka.

Tidak terlalu berlebihan bila perhatian dan sensitivitas terhadap kepentingan hak anak dimulai dari penguasa tertinggi, dalam hal ini SBY selaku presiden Republik Indonesia, yang tentunya harus diikuti oleh para petinggi di bawahnya hingga tingkat local, sehingga kebijakan dan praktik berjalan beriringan.

Selamat Hari Anak, merdeka dan sejahteralah selalu…!

Yogyakarta, 30 Agustus 2012

Baca juga:


Ketika Para Pejabat Dipaksa Mendengar Anak


Saya benar-benar Orang Bodoh
Menikmati Dijajah Asing

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline