Lihat ke Halaman Asli

Odi Shalahuddin

TERVERIFIKASI

Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

[mirror] Menunggu

Diperbarui: 6 Juli 2015   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh Odi Shalahuddin (25)

Malam. Tiada lampu jalanan. Purnama terganggu cuaca. Awan hitam bergerak, berputar, tiada berarah. Dimainkan angin langit yang gundah barangkali. Sesekali, bulan mengintip di selanya. Tertelan kembali oleh awan-awan itu.

Suara gemericik air yang mengalir tenang. Terdengar, tapi tak bisa terpandang mata. Di atas jembatan, di tengah, aku bersandar pada pagar besinya. Sesekali menoleh ke arah kiri dan kanan. Kadang berbalik, memandang sungai di bawahnya berusaha menembus kegelapan agar bisa menyaksikan ruang-ruang bawah. Air. Batu kali. Berbenturan. Barangkali sampah-sampah menyatu di dalamnya.

[caption id="attachment_149032" align="aligncenter" width="640" caption="Sumber: http://pixdaus.com/single.php?id=88395"][/caption]

Aku kira waktu sudah lewat dari sebelas malam. Pastilah ia tidak akan datang. Tak mungkin. Ya, tak mungkin. Sejak pukul sembilan, sesuai janji, tiada satu orangpun menyebrangi jembatan ini. Ya, sejak tadi aku berdiri sendiri. Bergulat dengan sunyi. Tak satupun orang lewat. Jalan kaki ataupun kendaraan.

”Betapa bodohnya aku,” mengeluh ketika teringat, tiada alat komunikasi di saku. Bukan terlupa. Begitulah perjanjiannya. Tanpa bertanya ataupun protes aku menyetujuinya. Demikian pula ketika diminta tak membawa kendaraan. Motor terparkir, sekitar lima kilometer di ujung kampung.

Kegilaan macam apa sehingga aku menuruti dan melaksanakannya. Baru kusadari saat ini, menyusuri jalan desa, melewati satu perkampungan, setelahnya adalah hamparan hutan pinus di kiri-kanan, dan hampir lima kilometer kulalui dengan berjalan kaki. Kuyakin, jalan di seberang bisa berkilometer untuk tiba pada perkampungan. Jadi, diriku di tengah jembatan, di tengah hutan?

Sekian jam, tubuhku di sini, namun pikiran, tidak. Menanti serta menduga tentang dirinya. Seorang perempuan, yang kukenal dalam jejaring sosial. Berkomunikasi melalui inbox. Hingga kami semakin akrab. Hingga masing-masing dari kami membayangkan sosok mengingat kami berdua tidak memasukkan foto profil pun tidak membuat album. Tapi kami percaya satu sama lain. Oh, sebentar, setidaknya aku percaya dia perempuan. Dia sendiri? Entahlah. Bisa perempuan, bisa pula tidak. Atau jangan-jangan ia hanya mempermainkan diriku.

Kini. Setelah sekian jam menunggu. Kesadaran terbangunkan. Ah, mengapa kesadaran ini bangkit sekarang? Bukankah dengan demikian aku menyadari keberadaanku di ruang sepi? Jauh dari perkampungan dan aku tidak bisa tidak harus mencermati sekitar dengan seksama. Oh, seharusnya aku biarkan pikiran bermain dengan imajinasi sehingga tidak memiliki kesadaran akan ruang dan waktu.

Pandangan mata menjelajah, telinga terasa peka menangkap berbagai suara. Suara angin yang lembut dan berganti wajah menjadi sangar dan menampar, suara lolongan anjing bersahutan entah dari hutan atau dari perkampungan. Di sisi kiri, di ujung jembatan, sebrang aku berdiri, sebuah pohon besar dengan kerimbunan yang luar biasa.

Baru teringat tentang kisah-kisah.

”Wah, jangankan selepas maghrib, siang saja, bila sendiri, tiada orang berani melintasi jalan itu. Apalagi menyebrangi jembatan. Banyak kejadian aneh,” terngiang kata Ahmad dalam perbincangan di pos ronda, sebagai awal lahirnya kisah-kisah menyeramkan.

Aku mencoba menepiskan kisah-kisah yang mengali hadir dalam ingatan saat ini. Mencoba mengalihkan pikiran dengan hal-hal yang menyenangkan. Tapi tatapan mata yang menjelajah tak mampu untuk dihindari. Suara angin memainkan rimbun pepohonan, menggerakkan dedaunan dan ranting-ranting yang bergesekan. Melihat langit, purnama sudah tertelan bulat. Sungguh, kegelapan meraja, remang-pun hanya selintas.

Gemetar tubuh ini. Sebaiknya kembali. Tapi terbayang empat kilometer berjalan kaki menyusuri jalan gelap dengan jarak pandang tak lebih dari satu meter? Kegelisahan merayap, membangunkan sisi-sisi ketakutan yang alamiah sebagai manusia.

Suara lolongan anjing, terasa semakin mendekat. Suara air sungai terasa bagai gelombang dahsyat membenturkan tubuhnya pada batu-batu. Suara dedaunan dengan irama yang konstan seirama dengan degub jantung yang mencepat.

”Goblok! Sungguh goblok diriku!!!” tak mungkin perempuan itu, ya, bila benar ia adalah perempuan, akan hadir di tempat ini. Lelaki-pun bahkan tak akan berani jika benar-benar tak terpaksa untuk melalui jalan ini.

Semakin berdiam diri. Waktu semakin mendekati tengah malam. Kucoba menggerakkan kaki untuk melangkah berbalik, tapi tiba-tiba terlihat cahaya muncul dari arah kananku. Perempuan itu menepati janjinya!

Ya, perempuan itu!

Cahaya seakan membalut tubuhnya, sehingga sangat tampak dalam pandangan mata. Seorang perempuan tinggi semampai, dengan wajah bersinar bagaikan dewi. Seakan mengalahkan kecantikan para selebritis. Ia kenakan pakaian pengantin berwarna putih keperakan dengan gaun panjang yang terseret, menuju ke arahku. Ia menepati janjinya. Tapi, cepat sekali langkahnya. Oh, ia tak melangkah, ia melayang, semakin dekat ke arahku.

Yogyakarta, 12 Desember 2011

___________________________

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline