Lihat ke Halaman Asli

Odi Shalahuddin

TERVERIFIKASI

Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Pembacaan Puisi-puisi Simon Hate di Karta Pustaka Yogyakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_147015" align="aligncenter" width="590" caption="Acara pembacaan Puisi-puisi Simon Hate"][/caption]

Simon Hate?

Bisa jadi keningmu berkernyit dan melontarkan pertanyaan ketika disebut nama itu sebagai seorang penyair di Yogyakarta. Saya kira dirimu tidak salah. Memang sudah lama ia tidak muncul dalam hiruk-pikuk kesenian di Yogyakarta, dan lebih aktif dalam gerakan bersama para petani di berbagai wilayah Indonesia.

Simon Hate adalah penyair yang muncul pada era akhir 1970-1980-an. Ia mulai menulis puisi pada tahun 1976 akibat pergaulannya dengan Emha Ainun Nadjib, Halim HD dan Ashadi Siregar. Ia juga aktif di Teater Dinasti, salah satu kelompok teater terkemuka di Yogyakarta paska Bengkel Teater.

Semalam (2 Desember), puisi-puisinya yang terhimpun dalam Antologi Puisi ”Perceraian Adam dan Hawa” yang diterbitkan oleh Dapoer Seni Djogdja, dihadirkan kembali dan dibacakan oleh para aktor-aktor Yogya bertempat di Pendopo Pusat Kebudayaan Indonesia – Belanda, Karta Pustaka, Yogyakarta.

[caption id="attachment_147016" align="alignleft" width="300" caption="Agus Istianto"][/caption] Tersebutlah Isti Nugroho, Agus Istianto, Joko Kamto, Eko Winardi, Bambang Susiawan, Halim HD, Titik Rengganis, dan Naomi Srikandi, yang membacakan puisi-puisi Simon Hate. Acara yang dipandu oleh Angger Jati Wijaya ini juga menampilkan performance Dramatic Reading ”Upacara di Gerbang Kota” karya Indro Tranggono yang diadaptasi dari Puisi Simon Hate yang dibacakan oleh Eko Winardi, Novi Budianto dan Joko Kamto.

Fajar Suharno dan Landung Simatupang berhalangan hadir. Demikian pula dengan Emha Ainun Nadjib yang semula akan memberikan kesaksian atas kepenyairan Simon Hate berhalangan hadir, namun ia memberikan kesaksian dalam rekaman film yang ditayangkan melalui layar lebar di atas panggung.

Tampak hadir dalam acara pembacaan puisi ini, Yuni Satia Rahayu (Wakil Bupati Sleman),  para seniman Yogyakarta seperti Fauzi Rizal, Faruk HT, Wadie Maharief, Genthong HSA, Sri Harjanto Sahid, Mustofa W. Hasyim, Hamdi Salad, Kris Budiman Sigit Sugito, Ons Untoro,  para aktivis kebudayaan dan aktivis gerakan sosial seperti Amir Sutoko, Hadi Wahono, Hairus Salim. Selain dari Yogyakarta, acara ini dihadiri oleh orang-orang dari berbagai kota.

Simon Hate karena alasan kesehatan hanya terlihat sebentar, lalu beristirahat di ruang dalam. Penyerahan secara simbolis buku antologi puisinya diterimakan kepada anak lelakinya yang dilanjutkan dengan pembacaan puisi yang menjadi judul bukunya oleh Agus Istianto.

[caption id="attachment_147017" align="alignright" width="300" caption="Joko Kamto"][/caption] ”Simon, tidak punya kebutuhan untuk dihormati, bahkan dia tidak punya kebutuhan untuk diakui.  Jangankan sebagai penyair, sebagai Simon sendiri saja dia tidak harus diakui. Maka dia tidak pernah memperjuangkan diri, tidak pernah menonjol-nonjolkan diri, bahkan dia tidak ber-karier di bidang kepenyairan. Karena dia sangat curiga terhadap kata ”karier” sejak mudanya waktu dia masih sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM sebagai yuniornya Halim HD” demikian kesaksian Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, si Kyai Mbeling dalam rekaman film yang ditampilkan.

Ditambahkan oleh Cak Nun: kalau kita sekarang  mendengar puisi-puisi Simon, itu bukan puisi-puisi dari orang yang punya ambisi atau mencari eksistensi sebagai penyair. Sekarang kita mendengarkan puisi Simon adalah puisi-puisi yang benar-benar murni  merupakan hasil perundingan naluriah dia dengan Tuhan. Dia dengan Tuhan dalam kalbunya yang sangat sunyi, sangat remang-remang, dan tidak seorangpun atau satu makhluk-pun tahu.”

[caption id="attachment_147019" align="alignleft" width="300" caption="Eko Winardi"][/caption] Di kalimat penutupnya, Cak Nun menyatakan: I Love you Simon. Dan saya kira semua mencintai Simon karena dia lulus dari segala gegap gempita yang sama sekali tidak sanggup mengkontaminasi sosok seorang bernama Simon Hasiloan Tambunan,”

Lalu bergiliran para aktor Yogya ini membacakan puisi-puisi Simon. ”Lelaki Siang dan Malam” oleh Joko Kamto yang kini aktif di Kyai Kanjeng, Bambang Susiawan membacakan ”Kabar Perjalanan”, ”Potret Diri” dibacakan oleh Titik Rengganis, dilanjutkan oleh Eko Winardi dengan puisi ”Berita Keluarga,” dan Halim HD membacakan ”Inilah Kota! Dan Orang-orang Berebut di dalamnya”. Dramatic Reading dibacakan oleh Eko Winardi, Joko Kamto dan Novi Budianto, dan acara ditutup dengan pembacaan puisi pendek oleh Naomi Srikandi, putri dari sang Penyair yang dikenal dengan julukan ”Burung Merak”, WS Rendra.

[caption id="attachment_147018" align="alignright" width="300" caption="Halim HD"][/caption] ”Karena belakangan Simon kondisinya kurang baik, saya yakin banyak hal yang menjadi gagasan-gagasannya yang belum diwujudkan dalam perjalanannya. Ketika 35 tahun yang lalu saya mengenal Simon, saya tertarik dengan keragu-raguannya, suka dengan kehidupan malam, yang akhirnya kami sering bertemu di Malioboro, di Pasar Kranggan dan jalanan-jalanan lain. Ketika Simon pertama kali menulis puisi, Saya sangat tertarik dengan puisi-puisinya yang selalu pendek dan padat. Tahun 1977-1978 dan awal 80-an, puisi-puisinya sangat dikenal di Media Yogyakarta. Tapi  malam ini saya membacakan puisinya yang   sangat panjang yang ditulis oleh Simon, yang saya kira ada sesuatu yang ingin dia sampaikan,” Halim HD memberikan pengantarnya sebelum membacakan puisi panjang Simon.

Sebagai penyair, Simon bisa dikatakan tidak produktif dibandingkan para penyair-penyair lainnya. Bahkan kata yang lebih tepat bisa disebut ”malas menulis” walau banyak gagasan-gagasan yang sering dikemukakannya dalam berbagai perbincangan dengan para sahabat-sahabatnya yang mampu memberikan inspirasi.

[caption id="attachment_147020" align="aligncenter" width="300" caption="Angger Jati Wijaya"][/caption]

Hal tersebut, sebagaimana diceritakan oleh Angger Jati Wijaya, pernah mengundang komentar dari Cak Nun, ”Mon andaikata kamu mau menulis, maka akan ada karya-karya hebat dari pemikiran dangagasan-gagasan kamu,”. Tapi dengan nada berseloroh Simon hanya menanggapi ”Kan yang biasa menulis adalah para sahabat nabi,”

Walaupun sejak tahun 1990-an ia tidak pernah mempublikasikan karya-karyanya ke media lain, Simon diketahui masih sering menulis puisi di sela-sela kesibukannya. Pada awal Kompas menyediakan ruang untuk puisi, beberapa puisinya sempat menghiasi rubrik tersebut. ”Ya, diminta mengirim, saya kirim,: katanya enteng ketika ditanya oleh seorang kawannya.

[caption id="attachment_147021" align="alignleft" width="300" caption="Indro Tranggono"][/caption] Ketika di Teater Dinasti, ia pernah menggarap lakon Patung Kekasih bersama Fajar Suharno dan Emha Ainun Nadjib.Selanjutnya bersama Agus Istianto ia menulis lakon ”Sepatu Nomor Satu”.Dua lakon yang pernah dilarang pementasannya pada masa Orde Baru. Kendati pada akhirnya beberapa tahun kemudian, ”Patung Kekasih” sempat dipentaskan di beberapa kota.

Simon Hate yang pernah mengikuti pelatihan teater yang diselenggarakan oleh Philiphine Educational Theatre Association (PETA) pada tahun 1984 (Dari Indonesia yang pertama kali mengikuti pelatihan ini adalah Emha Ainun Nadjib dan Fred Wibowo. Pada fase selanjutnya, Wiji Thukul juga pernah mengikuti pelatihan serupa), telah mendorongnya untuk menerafkan dan mengembangkan teater sebagai media pembebasan. Ia bersama beberapa kawannya kemudian mendirikan Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan bekerja bersama kaum marginal seperti kalangan buruh di Tangerang, kelompok-kelompok tani di berbagai wilayah di Jawa Tengah, dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia. Ia merupakan salah satu sosok penting bila membicarakan perjalanan teater pembebasan di Indonesia.

Hasta Indriyana, seorang alumni ISI Yogyakarta dalam salah satu artikelnya di Suara Karya (klik di SINI) menyatakan bahwa munculnya faham teater sebagai media pembebasan merupakan salah satu upaya menciptakan demokrasi kebudayaan dan demokrasi politik yang selama ini dibeukan demi kepentingan pihak penguasa. Kemunculannya karena kondisi yang melahirkan iklim demokrasi kebudayaan untuk berekspresi dan berkreasi kepada para pekerja kesenian. Hal tersebut dapat mengancam status quo pihak penguasa karena dengan kebebasan yang ada itu, para pekerja teater dapat menciptakan bentuk-bentuk karya seni yang tidak selaras dengan apa yang diinginkan pihak penguasa, yaitu karya seni yang mempertanyakan kekuasaannya.

Salam,

Odi Shalahuddin, 3 Desember 2011

[caption id="attachment_147022" align="aligncenter" width="300" caption="Budi Susiawan"][/caption] [caption id="attachment_147023" align="aligncenter" width="300" caption="Titi Rengganis"][/caption] [caption id="attachment_147024" align="aligncenter" width="300" caption="Naomi Srikandi"][/caption] [caption id="attachment_147026" align="aligncenter" width="300" caption="Simon bersama para sahabatnya"][/caption] [caption id="attachment_147027" align="aligncenter" width="300" caption="Musik Pengiring"][/caption] [caption id="attachment_147028" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama para sahabat"][/caption] Beberapa Puisinya:

SEORANG LELAKI, SIANG DAN MALAM

Matahari terbit dan tenggelam, terbit dan tenggelam.

(Heran. Kepada yang setia kita selalu lupa)

Seorang lelaki terlonjak (ketika orang-orang berteriak: "Bangun, bangun, hari telah siang!") lantas bergegas hingga tak sempat mengucap selamat, kepada matahari yang dengan perlahan mulai memanjat langit.

Maka, ketika matahari tiba di atas dia pun memekik dengan panas: "Hai, anak manusia! Meloncat-loncatlah, menggeliat-geliatlah, menari-lari ke sana ke mari."

(Heran. Kita tak begitu cermat mengapa harus berbuat)

Lelaki itu melakukan dengan patuh dan sopan. (Orang-orang bertepuk tangan)

Setelah itu, matahari tenggelam.

Lelaki itu pun bangkit dengan perlahan kemudian berjalan tertatih-tatih karena tubuhnya yang letih (Banyak perbuatan yang dia tidak ingin lakukan. Banyak perbuatan yang dia terpaksa tidak lakukan), lalu merintih: "Aku butuh perempuan yang pandai melekuk badan," dan segera menyelinap ke dalam gelap

(Orang-orang mulai geger: "Lelaki itu harus kita cari! Dia tak boleh pergi!") perempuan itu dia temukan, berbisik:

"Kemarilah, kemari lekas. Akan kutunjukkan tarian yang lepas. Jangan lagi ragu. Lihatlah, aku takkan malu!"

(Heran. Yang berani merenggut nikmat sering kita laknat)

Maka sambil berteriak: "Malam adalah saat kita membasuh tubuh setelah seharian berjalan berpeluh," (Tapi kepada hatinya sendiri dia berbisik: "Malam adalah saat menikam setelah seharian menyimpan dendam") lelaki itu menutup pintu.

(Kamar yang tertutup adalah mulut yang terkatup menyimpan apa yang kita kerjakan mendiamkan kata buah pikiran)

Seorang lelaki (selama seharian berjalan) menelan beribu keinginan (disebutnya rahasia) tapi tak tahan sehingga ketika malam dia pun menggelepar-gelepar, sebelum kemudian terkapar.

(Heran. Yang tahan menderita itulah pujaan kita)

MENIMBANG YAKIN

(Sedetik lagi sebelum Sokrates mereguk racunnya, aku mencegahnya)

Keyakinan menampik kenyataan.

Dari gunung air mengalir tak berkata sepatah jua.

Di antara rumpun batu di bawah matahari gemerciknya menjadi segar.

Telaga teduh alunnya, lamban dan angkuh.

Laut merenggut bulan.

Dalam pelukannya, rindu menggeliat, mengejang.

Mana yang harus dipertahankan: terik mentari atau redup rembulan?

Amarah terdesak dan berteriak: "Ksatria, matinya berkubang darah!"

Sokrates, pertunjukan ini kita akhiri sampai di sini.

Tak usah diulang lagi.

JEMBATAN PENGHABISAN

Masihkah ingat kau jembatan di mana kita penghabisan kali bertatapan?

Aku kini tak mungkin kembali dan berharap kau tidak lagi menanti.

POTRET DIRI

Awal delapan puluh, bulan penuh

-  malam pertama -

(di sebuah taman ada bangku panjang, kosong)

Anak muda, engkau hendak kemana?

(kalau setiap pucuk runduknya arah angin bertiup, kemanalah semak belukar menjalar?)

WAKTU

Duduk pada pukul 06.00, sambil memandang pohon-pohon, hijau dedaunan dan mendengar kicau burung-burung,

tiba-tiba aku merasa bahwa waktu bukan hanya angka. Ia juga aroma tanah dan sejuk embun, cuaca dan nuansa, warna pada kaki langit.

Ia adalah ruh pada ruang.

Jakarta, 1 Mei 2008

________________________

Klik juga lengkapnya:

Kesaksian Emha Ainun Nadjib atas Kepenyairan SIMON HATE




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline