Lihat ke Halaman Asli

Odi Shalahuddin

TERVERIFIKASI

Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Perempuan Penikmat Malam

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Entah, sejak kapan, tiada yang tahu pasti.  Seorang perempuan, terduduk di kursi taman. Kursi semen. Dingin terasa tentunya. Bisa dipastikan ia akan selalu berada pada urutan kursi taman nomor tiga dari barat. Entah mengapa. Selalu di situ. Tak berpindah pada kursi-kursi lainnya.

Ia sendiri. Bersandar. Menengadah. Memandangi langit. Menikmati malam. Menikmati pergerakan langit dari waktu ke waktu. Wajah bulan yang berubah dari purnama dengan keutuhan bentuknya. Terpotong menjadi separo, membentuk sabit, kembali pada putaran-putaran sesuai dengan iramanya.

Malam ini, bulan bersembunyi. Langit hampir pekat. Tapi bintang-bintang bertaburan. Kendati demikian, Perempuan itu sangat yakin, bulan tengah mengintip bumi, menikmati ia yang tengah mencari, lalu menyapa padanya. Mungkin lewat awan yang bergelombang, singgah di angin, singgah di dedaunan, lalu singgah di daun telinganya. ”selamat malam bulan yang bersembunyi,” kata hatinya. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

Taman ini semula adalah taman juga. Direnovasi sekitar dua puluh tahun lalu. Tahun-tahun berikutnya terus berbenah. Bagaikan sosok renta, tiba-tiba menjadi gadis muda yang penuh pesona menggairahkan.

Sebelumnya taman di tengah kota ini tidaklah layak disebut sebagai taman. Lebih tepat disebut hutan kota yang tidak terawat dengan semak-semak yang hampir mendominasi areal yang tidak begitu luas ini. Malam sangat gelap tanpa lampu penerangan. Siang tak sedap untuk dipandang.

Padahal taman ini sejajar dengan bangunan-bangunan bersejarah kota ini. Titik kilometer nol. Titik pusat. Pada simpang empat yang entah sengaja atau tidak, di seputarnya adalah bangunan yang menyimbolkan sebuah negara. Ada istana, ada benteng, ada Bank nasional, kantor pos, monumen perjuangan, dan sebuah kantor radio.  Bukankah letaknya sangat strategis?

Pada masa lalu, taman ini sangat ramai walaupun gelap. Baik di trotoar juga di dalam tamannya. Bila engkau pernah melintas sambil berjalan kaki, pastilah engkau pernah tersapa dan digoda, atau bahkan tangan-tangan nakal secara sengaja menyentuh atau mencoba meremas alat vitalmu.

Ya, begitulah, sekitar 20 tahunan yang lalu. Warga kota pasti mengenal dengan pasti wilayah ini. Para ibu yang khawatir bila suaminya belum juga pulang sedang malam sudah menjelang.

Kembali ke sosok perempuan, wajahnya masih menengadah walau hanya gelap yang tampak. Pakaian kebaya yang kusam. Demikian pula dengan kain yang membalut tubuhnya. Kerutan wajahnya sudah tak bisa disembunyikan. Lima puluh tahunan lebih kira-kira usianya.

Ia menghela nafas. Terlihat dari gerakan pada bahunya. Tebakan dari diriku yang sedari tadi mengamati, di sebuah warung angkringan.

“Dia selalu duduk di situ, setiap malam. Tidur di situ pula, pagi pergi entah kemana. Malam menjelang, sudah hadir lagi,” Kang Marto penjual Angkringan memberikan penjelasan seolah mengerti apa yang tengah aku pikirkan.

“Orang mana, Pak?”

“Dengar-dengar sih katanya orang dari desa di selatan,”

”Oh,”

”Dengar-dengar pula, dari orang yang pernah jajan di sini, dulu ia merupakan primadona di kawasan ini. Hm, adik tahu tentang taman ini? Oh, pasti belum ya. Atau...? Dulu taman ini sangat berbeda dengan sekarang. Taman, tapi tidak beraturan. Tidak ada lampu-lampu penerang. Seluruh ruang dipenuhi semak-semak. Tapi di situ pula terbangun beberapa kamar-kamar darurat, yang didirikan saat sore dan diruntuhkan menjelang pagi,” penjelasan yang panjang dari Kang Marto sambil mengaduk gula dari segelas es teh. Ia menyodorkan kepada pembeli di sebrangku.

”Kamar-kamar darurat, untuk kebutuhan darurat” lanjut Kang Marto sambil terbahak. Akupun mengikutinya.

Entah siapa memulai, pada saat itu, pagar-pagar besi di bagian belakang, sudah terpatahkan. Sehingga sosok-sosok manusia bisa memasukinya. Pepohonan rimbun, semak-semak, tanpa lampu-lampu, menjadi tempat yang nyaman untuk saling merayu dan bercumbu. Saling mengucap angka, tersepakati, maka sepasang manusia akan segera bergerak menuju balik rimbun semak-semak memasuki bilik-bilik kamar darurat. Mendesah, menggeliatkan awan yang segera bergerak.

Setelah direnovasi. Ini menjadi Taman parkir yang strategis. Berada di  pusat kota. Sampai akhirnya menimbulkan masalah lantaran jalan menjadi terlalu padat, sehingga lahan parkir dipindah. Taman ini kembali menjadi taman. Kosong. Dengan ruang berlantaikan konblok, dengan kursi-kursi taman terbuat dari semen. Sayang, seperti biasa, ada saja yang jahil. Lampu-lampu menghilang, sehingga suasana menjadi gelap, hanya mengandalkan pada cahaya rembulan, dan bias cahaya dari gedung-gedung dan pinggiran jalan. Taman ini kembali sepi. Hanya beberapa saja yang terkadang menyinggahinya.

Tapi, perempuan itu. Selalu saja hadir. Duduk di taman. Sendiri. Menikmati malam. Ya, perempuan itu. Dengan baju kebaya, dan kain yang menyelimuti tubuhnya. Selalu saja berada di situ. Kuyakin, engkau yang sering melintasi jalan ini, pastilah tak pernah menoleh ke arah taman itu.  Cobalah sesekali menoleh. Pasti engkau akan jumpai perempuan yang selalu menikmati malam.

31 Juli – 4 November 2011

___________________________

Ilustrasi gambar dari SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline