KALAU anda beruntung, anda akan bisa menikmati bentuk pergelaran “eksperimen” atau sebutlah gaya baru antara Stand Up comedy dan Dagelan Mataram. Kalau tidak beruntung, pergelaran itu sudah jalan dan anda baru membaca tulisan ini. Tetapi kalau pikiran anda terbuka, tak penting anda sudah sempat menonton atau belum, yang penting justru mencermati, apa sih istimewanya mengkolaborasi dua sisi gaya pertunjukan komedi yang “berbeda” patron dan indikator namun sebenarnya “sama” secara hakikat atau esensi, yakni sama-sama komedi. Sama-sama jualan lelucon.
Kita semua sudah paham apa itu Stand Up comedy, bukan? Seseorang, benar-benar seseorang, berdiri di atas panggung sambil pegang atau menghadap mike, kemudian ngoceh (komedi verbal) ke sana-ke mari, membawakan berbagai topik atau masalah yang tiap sekian detiknya selalu diikuti tawa penonton. Seseorang itu benar-benar menjadi pusat seluruh pertunjukan, termasuk ketika ia merespon properti atau melakukan interaksi dengan penonton.
Dagelan Mataram (DM), ada dua sesi yang menonjol. Sesi pertama, seseorang, entah dia berperan sebagai kepala rumah tangga, pembantu atau sebagai apapun, melakukan monolog (ngomong sendiri) tentang berbagai hal yang membuatnya risau atau galau. Kemudian dia ngrasani (ngegosip sendiri) tentang orang lain atau situasi. Karena cara pandangnya personal dan mencari benarnya sendiri, saat itulah terjadi gesekan persepsi antara si pemonolog dan penonton; maka ledakan tawa tak terhindarkan. Sesi pertama ini kadang berlangsung lima hingga tujuh menit. Tergantung lemah kuatnya si pemonolog.
Sesi kedua, interaksi antara si pemonolog dengan pemain lain yang sudah dipersiapkan untuk sebuah drama komedi. Interaksi dilakukan sesuai dengan bangunan cerita yang sudah disepakati. Bila merujuk pada pergelaran yang biasa dilakukan oleh maestro Dagelan Mataram Basiyo atau Junaedi (hampir semua dalam bahasa Jawa), suasana segar dan deraian tawa bisa dirasakan penonton dari sekian detik ke sekian detik berikutnya. Karena semua tahu, meski hanya menikmati lewat rekaman kaset, dua maestro DM itu memang jawara maut dalam menggelitik saraf penontonnya.
Kolaborasi Dua Gaya Komedi
Bagaimana ketika dua gaya komedi itu dipertemukan dalam sebuah pergelaran? Karena masing-masing sudah mandiri dan bisa hidup baik sendirian maupun bergalatama, maka kolaborasi hanyalah penyiasatan giliran tampil. Bisa berurutan atau oplosan. Dibuatkan semacam rundown atau dibagi per-segmen. Terserah maunya sutradara. Bisa juga dibuat semacam pertunjukan ala Saturday Night Live Comedy kalau di Amrik sana. Pokoknya kanan-kiri, oke; atas-bawah bisa diatur.
Gebrakan pertama kolaborasi (karya Agus Noor dan Butet Kartaredjasa) dengan menampilkan stand up comic Sammy, Mongol, dan wakil komedian Dagelan Mataran Susilo dan Marwoto di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, perlu dicatat sebagai upaya penting dalam mengawinkan dua kutub kesenian yang seolah berbeda namun esensinya sama.
Catatan penting yang dapat dimajukan dalam kesempatan ini adalah: sejak boom Stand Up comedy di negeri ini, pola pertunjukan komedi, tidak terbatas pada lawak sebelumnya (perorangan atau grup) seperti zaman Kwartet Jaya, Bagiyo Cs, Bagito, dll, tetapi juga ada pola Stand Up comedy, ada Indonesia Lawak Klub dan kini ada pula kolaborasi Stand Up comedy dan Dagelan Mataran. Bukankah ini memperkaya perspektif bagi kesenian komedi itu sendiri?
Kita berharap eksplorasi pertunjukan komedi di negeri ini terus terjadi sehingga kolaborasi antara yang dianggap modern dan tradisional juga dapat terakomodasi. Dengan demikian dialog budaya berlangsung efektif dan produktif. Modern dan tradisional dapat saling mengikat, saling memberi dan mengisi sehingga sama-sama mendapatkan martabat dan apresiasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H