Sebulan belakangan ini ramai sekali media memberitakan kasus video porno dari tiga orang (yang diduga mirip) artis papan atas Indonesia. Terlalu ramai sampai saya merasakannya sebagai berisik - seperti tidak ada berita yang lebih penting untuk dibahas. Semakin ramai diekspos, semakin membuat orang penasaran untuk mencari kebenarannya. Maka luputlah berita lain yang lebih mendesak dan penting bagi kepentingan bangsa.
Kalau saya sekarang menulis tentang mereka, bukan berarti saya ingin meriuhkan suasana yang sudah bising ini. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk menarik pelajaran dari semua ini. Bahwa seharusnyalah kita hati-hati dengan perilaku kita. Harus kita ingat bahwa apapun yang kita lakukan, ada keluarga (dan nama baik yang dipertaruhkan) di belakang kita, juga masa depan kita (termasuk keluarga) di depan kita.
Ketika berita tentang video yang menghebohkan ini mulai berhembus, saya cuma membatin, 'habislah sudah'. Karier ketiga artis yang demikian moncer, redup sudah. Dihantam oleh segala penghakiman yang mereka terima selama sebulan ini, runtuh sudah ketegaran mereka. Kemarin, Luna Maya dan Cut Tari, di tempat dan kesempatan yang berbeda, dengan penyesalan yang begitu mengiris hati, meminta maaf kepada publik - meski tidak juga mengakui kebenaran keterlibatan mereka.
Kita lihat ke kasus Cut Tari. Dengan latar belakang budaya dan agama yang melekat erat pada keberadaan dirinya, dengan statusnya sebagai seorang istri dan ibu dari seorang gadis kecil; pukulan apa yang lebih keras dari kasus ini? noda apa yang lebih hitam dari stigma zinah? Bukan berarti beban Luna Maya lebih ringan, ada keluarga besarnya yang ikut menerima lemparan 'lumpur', ada masa depan yang (paling tidak) saat ini seperti tertutup rapat, ada usaha yang terancam gulung tikar. Ariel - dia punya anak gadis - yang meskipun ikut ibunya, pasti terkena imbas dari seorang ayah yang tidak bisa menjaga perilaku.
Saat ini, sepertinya setiap orang berlomba-lomba menghakimi dan 'melempar batu' untuk merajam mereka. Adakah kita memang demikian suci sehingga berhak menghakimi, mencaci, menghujat, sementara dengan diam-diam memburu video mereka? Guru Kebenaran saya cuma membungkuk, menuliskan sesuatu di tanah, dan berkata: "Barang siapa di antara kamu ada yang tidak berdosa, silahkan melempar batu kepada pezinah ini." Setelah perkataan bijak ini, apakah kita punya nyali untuk melemparkan penghakiman kita pada mereka?
Baiklah kita menata hidup kita sendiri. Mari kita belajar, untuk menjaga kesucian diri (dan perkawinan - jika kita sudah berkeluarga) kita. Tubuh kita adalah bait suci Allah, tidak seharusnya kita bermain-main dengan amanah yang sudah kita terima sejak kita dijadikan. "Jangan mengingini istri orang lain, jangan berbuat cabul" - ajaran Luhur Allah - hendaklah kita jalani dengan setia.
Sekali lagi, apapun yang kita lakukan, hendaklah kita bijaksana, ADA KELUARGA DI BELAKANG KITA, ADA MASA DEPAN DI HADAPAN KITA - jangan pertaruhkan mereka hanya untuk kesenangan sesaat. Ada baiknya juga kita berhenti menghakimi, kita belajar dulu untuk selalu wawas diri. Biarlah hukum yang bicara, dan pelajaran yang sangat berharga ini menjadikan kita semua manusia bijak dan dewasa.
Malang, 10 Juli 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H