[caption id="attachment_184368" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock.com)"][/caption] "Mama, it's too many, it's very hard to remember all my cousins ...." Itu adalah jawaban dua jagoan saya setiap kali saya menegur mereka karena lupa nama sepupu (juga paman dan bibi) mereka. Ya, kami adalah keluarga yang (sangat) besar. Suami saya adalah anak ke 10 dari 12 bersaudara, saya anak ke 6 dari 8 (seharusnya 9, adik bungsu saya meninggal ketika balita). Sampai saat ini, jumlah keluarga kami (dari pihak suami dan saya) - dengan kami sebagai generasi ke dua, generasi ke tiga (anak-anak kami) plus beberapa menantu, dan generasi ke empat, semuanya 97 orang (!) Saya tidak menghitung sepupu kami, baik sepupu pertama maupun ke dua, karena keluarga inti ini - menurut adat Dayak sudah membuat satu suku sendiri. Saya sangat bangga menjadi bagian keluarga besar ini. Menghapalkan nama mereka adalah satu masalah, menghapalkan panggilan mereka menurut pangkat adalah masalah lain lagi. Kami berdua berasal dari etnis Tionghoa - bukan Tionghoa totok memang, tapi kami (terutama keluarga saya) masih mempertahankan tradisi panggilan menurut pangkat dalam keluarga. Mungkin perlu saya jelaskan dulu apa itu Tionghoa totok dan apa itu Tionghoa babah. Tionghoa totok adalah mereka yang masih mempunyai 'akar' di tanah leluhur, karena Ayah-Ibu atau Kakek-Nenek mereka masih kelahiran Tiongkok daratan. Mereka masih memegang kuat tradisi dan bahasa daerah mereka, termasuk juga seni kuliner mereka. Tionghoa babah adalah mereka yang nenek moyangnya sudah tidak bisa lagi dilacak di tanah leluhur, karena mereka sudah hidup lebih dari lima generasi di bumi Indonesia, dan kemungkinan besar sudah tercampur - melalui perkawinan dengan penduduk bumi putra. Dalam bertradisi, mereka juga banyak mendapat pengaruh dari budaya di mana mereka hidup, termasuk juga budaya (bahasa) Belanda karena pendidikan (orang tua) mereka - orang menyebutnya Holland spreaken - orang yang berbahasa Belanda. Seni boga mereka juga sudah sangat dipengaruhi resep-resep daerah setempat. Bahasa sehari-hari mereka adalah Bahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, karena kebanyakan mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa Kwok Ii ataupun bahasa daerah leluhur. Kami memang Tionghoa Babah, tapi ada satu tradisi yang sangat dihormati di keluarga kami, yaitu tradisi panggilan menurut pangkat dalam keluarga. Sampai saat ini - maaf kalau saya salah - baru di Budaya Batak saya menemui tradisi yang kurang lebih sama dengan kami dalam hal panggilan. Tradisi ini unik, dan menurut Kakek saya - saya memanggil beliau Engkong (dari panggilan asli Kung kung, Akung) - harus dilestarikan karena dari panggilan ini kita otomatis sudah tahu pangkat seseorang dalam keluarga. Saya akan jelaskan dengan lebih rinci 'hierarki' ini. Seperti yang sudah saya jelaskan, kami sudah mendapat banyak pengaruh dari budaya setempat; otomatis 'gaya' panggilan kami juga sudah terpengaruh dengan pelafalan setempat. Keluarga saya dipengaruhi oleh bahasa Jawa (Timur) asal saya, Keluarga Suami saya sangat kental berbaur dengan Bahasa Banjar. Kami memanggil Kakek Nenek kami dengan sebutan Engkong untuk Kakek, dan Emak (pengaruh Jawa) - dan Uma (pengaruh Banjar) untuk nenek - aslinya nenek dipanggil Bobo (untuk nenek dalam - dari pihak Ayah) dan Ama (untuk nenek luar - dari pihak Ibu). Lho koq ada luar dan dalam? Apa maksudnya? Tradisi Tionghoa adalah tradisi Patriakal - mengambil jalur Ayah. Cucu yang lahir dari anak Perempuan adalah cucu luar, karena mereka tidak menyandang nama keluarga. Otomatis, Kakek-Nenek dari pihak Ibu adalah Kakek-Nenek luar. Adalah lumrah anak gadis harus 'keluar' rumah ketika mereka menikah dan 'masuk' ke dalam 'rumah' keluarga Suami sebagai menantu. Seorang anak perempuan yang sudah menikah tidak mempunyai hak waris atas keluarga Ayah-Ibunya lagi, karena ketika dia keluar telah 'dibekali' dengan seperangkat perhiasan dan beberapa perangkat rumah tangga, juga sejumlah uang untuk bekal hidup mereka. Kita kembali ke masalah panggilan. Kita bicara panggilan dari pihak Ayah. Kakak laki-laki Ayah (Papa tek Koko), dipanggil Empek (dari Pak Pak), istrinya dipanggil Uwak(saya tidak bisa menghubungkan dengan bahasa aslinya karena di bahasa aslinya seharusnya dipanggil Pak Mey). Adik laki-laki Papa (Papa tek Titi) dipanggil Encek - Istrinya Enciem. Mereka semua ini yang berhak dan harus menjadi wali apabila Ayah meninggal - bukan paman dari pihak Ibu. Kakak Perempuan Ayah (Papa tek Ce Ce) dipanggil (seharusnya) Tua Ko; di keluarga saya menjadi Wak Ko, di keluarga suami menjadi To Ko. Suaminya (Papa tek ce ciang/ cefu), dipanggil Tio. Adik Perempuan Papa (Papa tek Me Me) biasa dipanggil A Ko - atau Ko saja, Suaminya sama, Tio. Dari Pihak Ibu, panggilan lain lagi. Baik Kakak maupun Adik laki-laki Ibu kami panggil Ku, istrinya dipanggil Kiem. Kakak perempuan Ibu dipanggil Tua Ii, di keluarga saya jadi Wak Ii, suaminya dipanggil Tio. Adik perempuan Ibu adalah Ii atau Ik, suaminya adalah Tio. Seperti yang kita kenal, Kakak laki-laki adalah Ko Ko, atau ngKoh dalam lafal Jawa. Istrinya akan dipanggil Sauw Sauw, engSo dalam tradisi Tionghoa Jawa. Kakak perempuan harus dipanggil Ce Ce, Ta Ce (ta artinya besar)- menjadi Tacik di tanah Jawa; suaminya adalah Ce Ciang atau Ce Fu. Panggilan untuk Adik laki-laki adalah Ti Ti, dan kami memanggil adik perempuan kami Me Me. Cukup rumit? Memang! Tidak heran kalau anak-anak kami suka protes kalu kami mengharuskan mereka memanggil tiap-tiap orang dalam keluarga kami dengan sebutan dan nama yang benar. Kasihan memang, tapi mereka harus dididik mencintai, dan bangga akan tradisi mereka. Tolong jangan larang kami melestarikan yang satu ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H