Saya pernah mengalami gangguan depresi dan kecemasan yang berlangsung beberapa beberapa bulan (saya lupa tepatnya). Awalnya saya mengira saya hanya kecapean. Tapi kondisi tersebut berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan bulan.
Dari luar mungkin orang mengira tidak ada yang salah dengan saya. Saya tersenyum, melakukan kegiatan sehari hari dan beraktivitas normal. Namun di dalam saya merasa hampa, mempertanyakan banyak hal dan tidak bergairan melakukan kegiatan sehari hari. Banyak waktu di kamar saya habiskan dengan tidur atau berbaring saja.
Saat kondisi tersebut secara perlahan mengganggu perkuliah saya, saya putuskan untuk pergi ke counselor yang di sediakan secara gratis oleh kampus saya di Australia.
Pengalaman saya pada saat tinggal di Australia, lebih mudah untuk saya pahami isu kesehatan jiwa karena tersedianya akses informasi dan edukasi mengenai topik ini. Selain itu, mahasiswa lokal juga lebih terbuka terhadap isu kesehatan jiwa yang terlihat dengan adanya kampanye kesadaran kesehatan jiwa oleh berbagai organisasi pemuda setempat. Saya bahkan sempat ikut training Mental Health First Aid yang disediakan oleh pihak kampus secara gratis.
Namun ketika saya kembali ke Indonesia dua setengah tahun yang lalu, saya menyadari bahwa hanya sedikit perbincangan mengenai isu kesehatan jiwa di ruang publik.
Hal ini sangat ironis mengingat data dari Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 14 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan emosional di tahun 2019.
Setengah tahun setelah kembali ke Indonesia, kondisi kesehatan mental saya kembali jatuh. Saya berusaha mencari bantuan ahli untuk memulihkan kondisi mental saya, namun hanya sedikit tenaga ahli yang tersedia.
Keterbatasan jumlah tenaga profesional yang fokus dalam penanganan kesehatan jiwa di Indonesia, yaitu psikolog dan psikiater, menjadi isu tersendiri. Data terbaru menunjukkan dengan jumlah penduduk mencapai 264 juta jiwa, jumlah rumah sakit jiwa di Indonesia hanya 48 unit!
Sewaktu saya mencoba mencari informasi mengenai isu kesehatan mental di Indonesia, kebanyakan buku yang membahas kesehatan mental di Indonesia adalah buku impor atau buku terjemahan oleh orang non-Indonesia.
Adapun buku yang membahas soal kesehatan jiwa kerap terkait dengan gangguan jiwa berat (psikotik dan skizofrenia). Padahal kondisi depresi dan kecemasan ringan merupakan ganggungan kesehatan jiwa yang lumrah di alami oleh masyarakat di keseharian.