Tulisan ini merupakan lanjutan dari dua tulisan sebelumnya yang ternyata menjadi sangat panjang:
Dalam pencarian penulis untuk memahami sejarah Indonesia berdasarkan sumber-sumber klasik yang penulis temukan, yang sebetulnya hanya semata "mencermati" penjelasan-penjelasan yang diberikan, banyak temuan-temuan baru yang sebetulnya penulis dapatkan; termasuk di antaranya keterangan tentang pergantian nama dan perpindahan ibu kota kerajaan San-bo-tsai yang sebenarnya diceritakan secara terpisah.
Hal ini mungkin saja terdengar sangat sepele. Namun, dalam catatan sejarah Cina, yang bahkan bisa dibilang sebagai dokumen resmi kerajaan/negara, yang (setidaknya dengan asumsi dasar) diberitakan secara "runut" atau dalam suatu "keteraturan", keterangan terpisah tentang dua kejadian tersebut sesungguhnya cukup penting untuk dicermati. Hal ini disebabkan keterangan terpisah tersebut dapat menjadi indikasi yang baik bahwa kedua peristiwa tersebut tidak terjadi secara bersamaan. Dan jika kedua peristiwa yang sebetulnya tidak terjadi secara bersamaan ini dianggap terjadi secara bersamaan, tentulah akan sangat mempengaruhi "proses identifikasi" yang dilakukan untuk memahami letak dari kerajaan San-bo-tsai - sebagaimana yang akan penulis jabarkan dalam tulisan ini.
Ku-kang
Walau San-bo-tsai telah berdiri dan dikenali oleh masyarakat lintas negeri selama beratus-ratus tahun di Sumatra, tentu dengan asumsi bahwa kerajaan ini adalah kerajaan yang sama dengan Sribhoja yang disebutkan biksu I-tsing (Yijing) dan Kandali yang disebut-sebut sebagai nama lain dari kerajaan ini dalam catatan dinasti Ming, sejarah Sumatra modern mungkin bisa dikatakan dimulai pada sekitar abad ke-14 Masehi – yang dimulai dari finalisasi pendudukan Jawa atas San-bo-tsai.
Pada halaman 71 dari buku karya meester Groeneveldt dijelaskan bahwa pada sekitar tahun 1397, Jawa “telah sepenuhnya” menguasai San-bo-tsai (completely conquered) dan mengganti namanya menjadi "Ku-kang" (Old River atau Sungai Tua) yang (menurut beliau) merupakan sebutan bangsa Cina untuk Palembang hingga saat ini (atau hingga tulisan tersebut dibuat, sekitar 100 tahun yang lalu). Dan, jika kita melihat ke dalam catatan sejarah Cina, hal ini menandakan bahwa pendudukan Jawa terhadap San-bo-tsai terjadi selama (kurang-lebih) 405 tahun – dimulai dari keterangan catatan dinasti Sung (Song) yang menceritakan tentang invasi Jawa ke San-bo-tsai pada tahun 992 (hal. 65), hingga keterangan pada catatan dinasti Ming tentang “finalisasi” pendudukan Jawa terhadap San-bo-tsai di atas.
Namun, catatan dinasti Ming mengungkapkan, pendudukan ini sendiri sebetulnya tidak berjalan secara lancar, sebab “finalisasi” yang terjadi menyebabkan “kekacauan” di seluruh negeri (the whole country was disturbed) dan Jawa tidak mampu mempertahankan seluruh wilayah yang mereka kuasai. Dalam keterangan-keterangan pada catatan tersebut, “kekacauan” yang dimaksud sepertinya mengarah pada pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di dalam kerajaan San-bo-tsai yang telah dikuasai sepenuhnya oleh Jawa. Dan, pemberontakan-pemberontakan ini pada akhirnya (dan hanya kemungkinannya) menimbulkan perpecahan-perpecahan; hingga jadilah Sumatra sebagaimana yang kita kenal pada saat ini. Kemungkinan ini, walau memang perlu diteliti lebih jauh kebenaran dan detailnya, jelas bukan tanpa alasan.
Sebelum kita memulai, ada satu hal yang sebetulnya penulis ragu untuk ungkapkan, tetapi sepertinya sangat butuh untuk dijelaskan. Dalam catatan tentang San-bo-tsai setelah finalisasi pendudukan Jawa atau setelah (sekitar) tahun 1397, keterangan-keterangannya sebetulnya bercerita tentang orang-orang yang berasal dari Cina dan, pada akhirnya, ditunjuk oleh kekaisaran Cina untuk menjadi “pimpinan” (chief) di San-bo-tsai.