Lihat ke Halaman Asli

Belajar dan Bekerjalah Semaksimal Mungkin Selagi Kau Muda, Sehat, dan Kaya!

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="625" caption="https://octavianadina.files.wordpress.com/2015/04/laptop-books.jpg"][/caption]

Tulisan ini terinspirasi oleh perjumpaan saya dengan dua perempuan dalam waktu yang berbeda. Kedua perjumpaan itu menggiring saya pada perenungan seandainya saja mereka mempersiapkan diri, tentu keadaan yang tengah mereka jalani sekarang tidak semestinya mereka alami. Baiklah, saya akan ceritakan keadaan seperti apa yang sedang dilalui kedua orang perempuan tersebut dalam hidup mereka saat ini.

Perempuan pertama –sebutlah Dahlia- usianya sudah lebih dari 60 tahun. Suaminya telah berpulang beberapa tahun silam. Ia punya seorang anak yang masih menempuh pendidikan di sekolah menegah. Pada usia senjanya, Dahlia harus bekerja keras demi mengongkosi hidupnya dan membiayai pendidikan anak semata wayangnya. Pekerjaannya sebagai telemarketer hanya mengganjarnya dengan komisi setiap kali ia berhasil mendapatkan klien baru bagi produk perusahaannya. Dari perbincangan selintas, terungkap bahwa gajinya hanya meliputi gaji pokok yang besarnya tak seberapa, ditambah uang transpor dan uang makan. Itu pun akan dipotong jika ia tak masuk kantor. Dahlia harus bekerja keras karena sang mendiang suami tak meninggalkan banyak harta. Maklum, almarhum semasa hidupnya tidak bekerja secara formal dan tetap alias hanya bekerja lepas dari proyek-proyek yang diperolehnya.

Semasa mudanya Dahlia pernah bekerja di dua perusahaan asing. Ia sosok pegawai klerikal (pekerja di bidang admisnistrasi keuangan) yang cukup cerdas dan cakap dalam bekerja. Bahkan di perusahaan yang kedua, ia bekerja cukup lama. Gajinya cukup layak ketika itu ditambah sejumlah tunjangan termasuk tunjangan kesehatan. Pendeknya ia tak kekurangan. Bahkan saat terpaksa resign karena perampingan perusahaan, konon Dahlia mendapat pesangon dalam jumlah hingga nyaris setengah milyar rupiah. Jumlah yang cukup fantastis di akhir dekade 90-an. Sebetulnya dengan pesangon sebesar itu, Dahlia yang berotak cerdas sepatutnya bisa merencanakan hidupnya ke depan dengan baiksecara bijaksana. Termasuk untuk mempersiapkan hidup di hari tua kelak. Akan tetapi, sayangnya hal itu tidak terjadi. Separo uang pesangon itu ludes untuk membiayai bisnis suaminya yang tak jelas juntrungannya. Kabarnya uang itu dibawa kabur rekan bisnis sang suami.

Dahlia beruntung masih memiliki teman-teman bekas rekan sekerjanya dulu yang masih memperhatikannya. Ia sempat ditawari pekerjaan di bidang administrasi keuangan seperti masa ia muda dulu. Namun sayangnya, Dahlia sudah lama ‘terputus’ dari pekembangan teknologi. Semenjak hengkang dari pekerjaannya dulu, ia tak lagi bekerja formal di kantoran. Dengan kata lain, Dahlia tak lagi pernah lagi menyentuh komputer yang dulu menjadi ‘makanan’nya sehari-hari. Ia kini gaptek alias gagap teknologi. Jangankan mengoperasikan laptop, memakai ponsel pintar pun ia masih tergagap-gagap. Usia yang semakin tua membuatnya kian jauh tertinggal dari perubahan teknologi yang supercepat. Tawaran pekerjaan itu tak bisa ia tangkap karena keterbatasan tersebut. Sayang sekali…

Perempuan kedua –sebutlah Mawar- usianya mungkin antara 35- 38 tahun. Itu perkiraan saya sebab saya tak terlalu mengenalnya secara personal. Mawar tinggal di perumahan real estate tak jauh dari kompleks di mana saya bermukim. Kabarnya dulu ia hidup sangat berkecukupan. Orang tuanya kaya raya. Konon almarhum ayahnya pernah menjadi pejabat di sebuah lembaga perbankan. Keadaan hidupnya berangsur berubah drastis setelah sang ayah meninggal belasan tahun silam. Meski masih tinggal di real estate yang sama, kehidupan keluarga Mawar boleh dibilang jatuh miskin. Bahkan sang ibu terkadang terpaksa meminta-minta uang kepada mereka yang dikenalnya.

Mawar tampaknya tak pernah bekerja secara formal. Entah karena dia tak mampu atau karena dirinya tak mau. Tak mampu bisa disebabkan oleh tidak adanya kompetensi. Dengan kata lain, Mawar tak membekali dirinya dengan keterampilan yang memadai untuk bisa mendapatkan pekerjaan formal. Tak mau dapat diakibatkan oleh keengganannya untuk berusaha lebih keras. Bisa jadi Mawar terlalu cepat menyerah dalam persaingan dan memilih bersikap apatis.

Menurut mantan asisten rumah tangga saya yang pernah mengenalnya, sehari-harinya Mawar memang kerap mondar-mandir ke warung yang tersebar di beberapa titik di kawasan kompleks. “Tiap hari dia itu bolak-balik melulu ke warung, Mbak. Tauk tuh beli apa aja…,” begitu cetus mantan asisten rumah tangga saya dulu. Sesekali saya berjumpa Mawar berjalan dengan seorang balita. “Lagi ngasuh ponakan,” ungkapnya saat disapa. Jika disapa, jawabannya terkesan seadanya dan agak ogah-ogahan untuk bercakap-cakap lebih lanjut.Tampaknya Mawar juga tak peduli pada penampilannya. Dari tahun ke tahun saya lihat penampilannya nyaris tak berubah. Boleh dibilang agak lusuh. Sama sekali tak mengesankan bahwa dulunya ia hidup dalam keluarga kaya raya. Jejak itu sama sekali tak terlihat pada dirinya. Bahkan dulu saya pernah mengira dirinya adalah asisten rumah tangga somewhere out there. Aduh, maaf ya, Mawar…

Barangkali tak pernah terlintas dalam pikiran Dahlia bahwa apa pun bisa terjadi dalam kehidupan manusia. Sebagai seorang isteri, mungkin ia merasa aman karena sang suamilah yang bertugas mencari nafkah. Karenanya, barangkali ia merasa tak perlu mengikuti perkembangan teknologi atau belajar keterampilan lain untuk menunjang hidup. Begitu juga dengan Mawar. Sebagai anak orang kaya raya, mungkin ia berpikir segalanya akan mudah. Bahwa hidup akan selalu menyenangkan dan berkecukupan sehingga ia tak perlu bekerja mencari nafkah. Tak perlu memperlengkapi diri dengan sejumlah kepandaian atau keterampilan demi mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Harta orang tua pasti akan bisa diandalkan untuk menopang hidup. Namun perjalanan hidup membawa mereka pada kenyataan lain yang tak pernah dibayangkan.

Dari apa yang dialami Dahlia dan Mawar, saya berkesimpulan bahwa selagi kita masih diberi karunia usia muda, kesehatan prima, apalagi kekayaan, maka adalah tanggung jawab kita untuk memperkaya diri dengan ilmu dan keterampilan. Bahkan setelah kita cukup kaya dengan ilmu dan keterampilan pun, kita masih harus terus memperbaruinya sebab peradaban manusia terus berubah dan teknologi terus berkembang.

Saya teringat perkataan ini: Tuhan memberi makanan kepada setiap burung, tapi Dia tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka. Tuhan menyediakan rejeki bagi setiap orang, tapi hanya mereka yang mempersiapkan diri untuk menerima yang akan mendapatkannya. Nasib manusia akan berubah jika ia mau berusaha mengubahnya. Sebab selama ada kemauan, di situ pasti ada jalan.Semoga kisah ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 18 April 2015

Octaviana Dina

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline