Ilustrasi : indigoergisi.com
Bicara soal pengemudi taksi, saya bersyukur sampai sejauh ini saya belum pernah menemukan pengemudi yang jahat atau kurang ajar. Maklum, tak jarang sayamenumpang taksi sendirian di malam hari. Memang sekali dua kali saya berhadapan dengan pengemudi yang nakal seperti memakai argo kuda atau sengaja mengambil jalan berputar-putar. Dalam batas tertentu, saya masih bisa mentolerir kelakuan ini. Anggap saja sedang sedekah dengan membayar sedikit lebih mahal. Pada dasarnya saya malas ribut-ribut. Namun bila saya anggap sudah keterlaluan, saya langsung menegur atau turun dan berganti taksi. Pesan saya untuk kaum wanita yang sering menggunakan taksi sendirian : bersikaplah asertif dan berbicaralah dengan santun tapi tegas. Jangan lupa untuk selalu waspada. Jika Anda hendak pergi ke kawasan yang tidak Anda kenal dengan baik, sedapat mungkin carilah terlebih dulu informasi dan rutenya via internet, dengan Google Map misalnya. Umumnya pengemudi respek terhadap wanita yang santun tapi tegas dan yang terlihat percaya diri
Macam-macam karakter pengemudi taksi yang saya temui. Ada yang pendiam, ada yang ramai, dari yang kadarnya ramai normal hingga ramai tingkat dewa alias tak henti berceloteh sepanjang jalan. Pernah saya menghadapi pengemudi yang sudah ramai bercerita, ramai pula bertanya ini itu. Ramah sekali bapak ini, pikir saya. Usut punya usut, motivasinya menjadi supir taksi adalah untuk melakukan promosi rumah makannya di bilangan Kemang. Wah! Sejauh ini, pengemudi taksi yang saya jumpai rata-rata cukup sopan, meski pernah juga saya menumpang taksi yang pengemudinya nampak sedang kesal. Sepanjang jalan ia tancap gas. Saya sih tidak takut, berhubung saya tidak alergi kecepatan tinggi serta kondisi jalan kala itu tidak ramai.
Saya paling senang jika mendapat taksi yang supirnya kooperatif dan optimistis, terutama saat terjebak dalam kemacetan. Supir tipe ini biasanya penuh inisitaif menawarkan rute-rute alternatif yang berkemungkinan menyelamatkan penumpang dari kemacetan yang berkepanjangan. Supir model optimistis biasanya juga sabar dan tidak mengeluh panjang-pendek, apalagi menggerutu dan marah, jika kemacetan memang tak bisa dihindari. Pernah sesekali saya mendapati supir yang menggerutu sepanjang jalan karena rute yang saya pilih ternyata padat dan macet. Sikap tersebut membuat saya tak nyaman. Sementara di lain waktu, saya dan ketiga teman saya terhibur oleh sikap pengemudi yang asyik punya. Meski sudah cukup tua –saya perkirakan antara 55-60 tahun- bapak supir itu banyak berkelakar dengan gaya Betokaw (Betawi) yang kental. Gayanya bicaranya yang lucu dan ceplas-ceplos itu membuat kami berkali-kali tertawa geli. “Waduh, macet panjang nih, Pak,” celetuk saya saat taksi mendadak harus berhenti karena macet yang mengular. “Tenang aje, Neng. Entar kite belok kiri, pasti kagak macet dah lewat situ,” katanya enteng sambil cengar-cengir. Bukan itu saja, bapak supir yang sudah tua tersebut juga terampil dalam mengemudikan mobil. Mantap dah, Pak!
Selain berbagai karakter, saya berjumpa dengan para pengemudi taksi dari bermacam etnis seperti Batak, Minang, Ambon, Papua, Sulawesi Utara, Sunda, dan yang paling banyak tentunya dari etnis Jawa –baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Penampilan para supir juga bermacam-macam. Ada yang bersih rapih, ada yang kumal dan lengkap dengan bau badan yang ‘semerbak’. Duh! Sekali saya pernah bertemu dengan pengemudi taksi yang berpenampilan mengesankan. Orangnya putih bersih, necis, perawakannya atletis, cara berbicaranya santun dengan suara bariton. Usianya saya tebak sekitar 45 tahun. Dari pilihan kata-katanya, jelas ia berpendidikan baik. Dengan penampilan seperti itu, rasanya ia lebih cocok jadi pegawai kantoran.
Jika sedang mood, biasanya saya mengobrol dengan supir taksi yang saya tumpangi. Bila si supir bertipe pendiam, biasanya obrolan hanya singkat dan mengenai hal remeh temeh saja, seperti soal macet dan cuaca. Obrolan bisa berlangsung seru jika sang supir juga doyan ngobrol. Apalagi jika pengetahuannya luas. Jangan salah, tak sedikit lho supir taksi di Jakarta yang punya wawasan lumayan. Berbagai cerita pun saya dapatkan dari hasil ngobrol bareng dengan pak supir taksi sepanjang perjalanan. Mulai dari cerita persaingan dalam bisnis pertaksian, isu-isu sosial politik dan ekonomi, hingga kisah Pak Jokowi yang tengah monitor langsung upaya penanggulangan banjir di suatu lokasi di Jakarta pada pukul 12 malam. Si supir taksi E itu mengaku ia melihat sendiri aksi Gubernur DKI tersebut. “ Kalau nggak lihat sendiri, saya nggak percaya, Bu, dengan yang ditulis di koran. Ternyata benar, Pak Jokowi betul-betul turun langsung. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri,” ceritanya dengan menggebu-gebu.
Salah satu cerita yang menurut saya paling unik adalah supir taksi yang ternyata seorang vokalis band trash metal underground di Jakarta. Setidaknya begitulah pengakuannya. Ceritanya, pada Januari saya bertugas sebagai panitia acara perhelatan yang mengambil tempat di sebuah hotel di bilangan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Selesai membereskan ini itu, saya dan seorang rekan yang rumahnya searah dengan saya pulang dengan taksi B yang menjadi mitra resmi hotel tersebut. Saat itu sudah hampir tengah malam.
Awalnya si pengemudi -pria muda berbadan tegap- minta ijin menyetel lagu. Sebagai penyuka musik, tentu saja dengan senang hati kami mempersilahkannya. Kami mulai bercakap-cakap soal musik. Saya katakan, selera musik saya luas : mulai dari musik klasik hingga rock. Sikapnya berubah antusias saat mendengar saya menyebut kata rock. Ia mulai bertanya ini itu soal band-band aliran rock. Sepertinya ia sedang mengetes kebenaran cerita saya. Ketika saya katakan bahwa semasa SMA dulu saya bahkan menyukai musik hard rock hingga heavy metal, vokalis merangkap supir taksi ini tampak terkesima. Apalagi saat saya dengan fasih menyebut beberapa band seperti April Wine, Rush, dan Judast Priest sebagai band kesukaan saya dahulu. Hehehe…enggak nyangka yaa? sorak saya dalam hati. Maklum, saat itu saya ber- make-upgaya feminin menor lengkap dengan bulu mata palsu nan cetarrrrr membahana.
Lantas mengalirlah ceritanya soal profesinya sebagai vokalis band metal underground berinisial P. Ia makin senang karena saya bisa menebak nama band-nya dengan tepat. Saya bukan penggemar musik underground , saya tahu karena pernah membaca berita terkait band tersebut. Sebagai band underground, album mereka kebanyakan dirilis secara indie. Jika saat ini mereka masih eksis, hal itu karena besarnya dukungan para fans fanatik sehingga band tersebut masih bisa menggelar pertunjukan dari panggung ke panggung.
Saya pun bertanya soal latar belakang pendidikannya. Sang vokalis tersebutmengaku ia jebolan akademi perhotelan. Saat ini ia memiliki restoran di kawasan bandara Soekarno-Hatta. “Lho, kok jadi supir taksi, Mas?’ celetuk saya heran. “Jadi supir taksi adalah strategi saya untuk memperluas jaringan dan koneksi, Mbak. Saya bisa bertemu dengan macam-macam orang. Lagipula saya suka mengamati karakter mereka,” jelasnya. Ia menambahkan, usaha restoran yang dirintisnya adalah untuk bekal hari tua. Rekan-rekan satu band-nya pun memiliki usaha sampingan sendiri-sendiri. “Kita kan nggak mungkin mengandalkan penghasilan dari nge-band,” lanjutnya. Saya manggut-manggut mendengarnya.
Nah, bagaimana cerita lainnya? Pengalaman naik taksi di luar negeri pun tak kalah serunya. Ada supir taksi yang malah menyarankan penumpangnya untuk berjalan kaki saja. Lho, kok bisa? Nantikan sambungan ceritanya ya. Stay tuned!
Jakarta, 12 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H