Lihat ke Halaman Asli

Ada Apa dengan Tante

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan (daring) alias versi online makna kata tante adalah 1) sebutan atau pangilan bagi adik/kakak perempuan dari ayah/ibu; 2) sebutan atau panggilan bagi wanita yang agak tua. Dari kecil saya diajarkan untuk memanggil teman-teman ibu saya maupun istri kenalan-kenalan orang tua saya dengan sebutan Tante. Juga untuk memanggil sanak saudara dan kerabat keluarga kami yang berjender perempuan dengan sebutan tersebut, termasuk untuk memanggil para sepupu saya yang usianya jauh lebih tua atau yang sudah menikah.

Sebutan Tante juga digunakan untuk menyapa para ibu tetangga-tetangga orangtua saya. Tentunya dengan pengecualian, sebab tak semuanya bisa disapa dengran sebutan Tante. Tergantung dari lingkup kultur di mana keluarga itu berada. Sebagai contoh, saya tak pernah menyapa ibu-ibu tetangga kami yang merupakan orang Betawi asli dengan sebutan Tante. Begitu juga dengan tetangga-tetangga kami yang kultur Jawa atau Arab atau budaya daerah lainnya –di mana sapaan Tante tak lazim digunakan- masih dominan.

Hal-hal tersebut sedikit banyak telah mengajarkan bahwa sebutan Tante tak bisa dialamatkan pada sembarang orang. Sebutan tersebut lebih cocok jika dialamatkan pada mereka yang punya kultur sama atau setingkat, baik gaya hidup, pendidikan, pola pergaulan dan sebagainya. Pendeknya, sebagai kata sapaan, kata tante lebih ekslusif pemakaiannya dibanding kata ibu. Itu menurut pendapat saya lho.

Ketika saya dewasa, otomatis saya pun disapa dengan sebutan Tante oleh keponakan-keponakan atau sanak saudara dan kerabat yang usianya jauh lebih muda, serta oleh anak-anak para teman dan kenalan orang tua plus para tetangga kami. Saya oke-oke saja karena menganggap hal itu wajar.

Namun seiring perubahan jaman, agaknya sapaan dengan sebutan Tante ini mulai mengalami pergeseran. Selaku warga DKI yang hobi blusukan ke Kota (Glodok-Asemka-Mangga Dua dan sekitarnya), saya memang sering disapa dengan sebutan tersebut saat berbelanja di kawasan itu. Selain sapaan khas Pecinan tentunya : Cici (kakak). “Cari apa, Tante??”atau “Mampir dulu, Tanteeee..” atau “Boleh, Tan, lagi diskon nih, Tan.. (Tan?? Emangnya Ketan??)” dan sejenisnya, dan seterusnya. Meski rada ilfil, saya masih maklum, paling banter saya ngedumel dalam hati memakai candaan masa kini: Tante??Kapan gue kawin sama Om lo?? Apalagi yang menyapa itu para SPG (sales person girl) yang masih abege atau SPB (sales person boy) yang biasa menyapa sambil cengengesan dengan tingkah lebay versi alay. Biasalah, kita yang dewasa harus maklum…hehehe.

Hingga tibalah pada suatu sore tatkala tukang roti langganan saya yang masih newbie tanpa diduga tanpa disangka memanggil saya dengan sebutan Tante. “Mau beli roti yang mana, Te??” Apaaa??? Te ??? Panggilan apa ituuu???? Namun meski kening saya berkerut tiga lapis, saya diam saja seraya berusaha memaklumi. Ini tukang roti pasti cuma ikut-ikutan saja menyapa dengan sebutan Tante. Sudah pasti dia enggak ngerti kaidahnya, pikir saya. Ya sudah. Tapi untunglah, tak lama sesudahnya, si tukang roti berhenti memanggil saya dengan sebutan yang bikin ilfil itu. Mungkin karena nggak enak melihat kening saya yang berkerut tiga lapis. Krik.

Lepas dari tukang roti, kini tukang gado-gado tak disangka tak diduga juga mendadak Tante alias memanggil saya dengan sebutan Tante. Virus ilfil kembali menyerang, saya tak tahan. “Eeeh, Mbak, jangan panggil Tante. Panggil Ibu aja. Panggil Mbak juga nggak apa-apa,” imbau saya. Si Mbak cengengesan. “Yaa, abis saya biasa panggil gitu sih sama langganan-langganan saya,” sahutnya. Saya manggut-manggut sambil menduga-duga apa alasan si Mbak memanggil saya Tante. Hmm, barangkali karena penampakan saya. Dengan rambut warna cokelat pirang sepuhan plus wajah yang tak tipikal Jawa, besar kemungkinan si Mbak beranggapan saya orang Kresten alias identik dengan etnis-etnis tertentu di mana sapaan Tante memang lazim digunakan. Saya hanya menduga tanpa bertanya.

Begitulah, berkat imbauan saya si Mbak tukang gado-gado langganan, puji Tuhan- alhamdulillah, akhirnya insyaf. Dia merelokasi kata panggilan dari Tante ke Mbak. Ternyata fenomena Tante masih berlanjut. Kali ini pelakunya adalah si Ucok, pemilik warung kecil di pojok jalan. Saya tak tahu apakah Ucok adalah nama aslinya atau bukan. Saya hanya mendapat referensi dari tetangga. “Beli aja di warung si Ucok, ada kok,” katanya saat saya mencari barang tertentu (saya lupa barang apa). Nah, saat saya mampir pada suatu hari ke warungnya untuk membeli sesuatu, dan disambut oleh seorang pria bertubuh pendek agak gemuk. Begitu dia berbicara, pahamlah saya kenapa dia dipanggil Ucok oleh teman saya. Aksen bicaranya mirip dengan Tulang Togu, itu tuh pemilik mini market saingan Haji Muhidin di sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Oooo..pantaslah! Bedanya, kalau Tulang Togu berkulit terang dan sugus (sudah gundul semua) rambutnya, Tulang Ucok ini agak gelap tapi umar (untung masih ada rambut)…hahaha.

Ketika si Tulang Ucok ini menyapa saya dengan sebutan Tante, langsung saya terserang virus ilfil lagi. Tukang roti dan tukang gado-gado sudah insyaf, lha kok ini ada lagi sih. Hadeeeuh, capek deh. Saya langsung bertindak. “Eeeh, jangan panggil Tante, Bang. Panggil Ibu aja,” imbau saya. Penasaran dengan penyebab kenapa saya dipanggil Tante, saya segera menggelar investigasi. “Kenapa panggil saya Tante? Karena rambut saya pirang ya? Atau karena tampang saya yang mirip Indo??” (belagak pede aja tampang kayak Indo…Indomi!! Hahaha).Mendapat serangan pertanyaan investigatif ala KPK, Tulang Ucok cengar-cengir. “Bukan begitu sih,” jawabnya. “Abis apaaa??” sambar saya. “ Yaaa, kalo panggilan Tante kan biasanya untuk perempuan yang masih agak mudalah,” ujarnya. Oooo, jadi begitu yaa. Gantian saya yang cengar-cengir. Agak muda?? Wah, padahal umur saya sudah banyak lhooo. Kalau saya sebut, bagaimana ya reaksinya. Kasih tau nggak yaaa?? kata saya dalam hati sambil menahan senyum.

Usai belanja di warung Tulang Ucok, saya teringat akan pulsa hape yang sudah sekarat. Maka meluncurlah saya ke deretan kios sebelah tempat jual pulsa elektrik dan voucher. Penjaga kios adalah seorang gadis manis berjilbab. Usianya saya tebak antara 20-22 tahun. Saat saya datang, ia masih sibuk melayani seorang ibu yang hendak membelikan hape untuk anak lelakinya yang masih bocah. Saya menunggu dengan sabar. Sang ibu pun pergi, giliran saya tiba. Si Mbak yang manis itu menatap saya sambil tersenyum. “Mau beli pulsa, Kak?” Kakak??? Penampakan kayak gini dipanggil Kakak??? Saya cuma bisa nyengir kuda… :p *melet*

Octaviana Dina

Jakarta, 23 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline