Lihat ke Halaman Asli

Hujan Abu untuk Sumi

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Pagi ini kok gak kayak biasanya sih, Mak? ini apa?”

“Hujan abu.”

“Kenapa bisa hujan abu, Mak?”

“Gunung njeblug.”

“Gunung isinya abu, Mak?”

“Ya.”

“Kalau gunung isinya wortel, pas njeblug, keluarnya hujan wortel, Mak?”

“Mungkin.”

“Aku mau lihat ke luar rumah, Mak.”

“Tak usah.”

“Kenapa tak usah, Mak?”

“Kita tak punya masker.”

“Beli saja, Mak. Di warung Mang Juju ada.”

“Mak tak ada uang.”

“ooo..”

Jadilah Sumi hanya duduk di dalam rumah. Ingin keluar tapi tak dapat ijin dari Emak. Padahal Sumi sangat penasaran, ingin melihat bagaimana debu berterbangan dan menutupi jalanan depan rumahnya. Ia membayangkan pasti akan seperti berada di luar negeri. Berkabut. Ia intip jalanan luar dan lubang jendela, yang bolong karena dimakan rayap. Namun yang terlihat hanya seperti kabut yang membuat jalanan sepi. Sumi melihat-lihat lagi apakah ada Nek Omah yang setiap pagi berjualan sayur dan buah dengan sepeda berkeranjangnya.

“Mak.”

“Hmm..”

“Nek Omah tak terlihat.”

“Mungkin tak jualan.”

“Kok Emak tahu?”

“Cuma nebak.”

Sumi memalingkan lagi wajahnya dan mencoba mengintip lagi barangkali Nek Omah lewat dan membawa dagangannya. Sumi ingat beberapa hari yang lalu, ia bersama Nek Omah membicarakan tentang kampung yang ia tinggali. Nek Omah menceritakan bahwa dahulu hujan abu pernah terjadi pada sekitar tahun 1000. Hujan abu yang cukup lebat. Nek Omah bercerita tentang orang-orang yang selalu berbahagia ketika hujan abu datang. Bagi mereka hujan air sudah sangat biasa, dan yang istimewa adalah hujan abu.

Cerita hujan abu yang lain juga pernah diceritakan pada Sumi. Dan Sumi sangat senang mendengar cerita Nek Omah. Sumi ingat satu cerita dari Nek Omah bahwa kita harus menteladani debu. Kecil, ringan, mudah berpindah, dan selalu taat terhadap angin yang membawanya.

“Apa enaknya jadi debu, Mak? tanya Sumi setelah lamunan tentang Nek Omah buyar.

“Tak ada.”

“Kata Nek Omah , enak jadi debu.”

“Bagaimana katanya?”

Sumi tak menjawab. Ia sendiri kebingungan harus menjawab apa. Namun ia percaya bahwa jadi debu enak, seperti yang dikatakan Nek Omah.

Emak yang sedari tadi sibuk menjahit pesanan baju tidak menggubris pertanyaan dan juga perkataan Sumi. Bagi Emak, anaknya hanya terlalu banyak bercakap dengan Nek Omah, yang memang sedari dulu terkenal sebagai pembual nomor satu di kampungnya. Sudah berkali-kali pula Emak ditipu Nek Omah yang mengatakan sayur yang ia jual bagus, buah yang ia jual manis dan matang, dan juga hutang-hutang uang yang dipinjamkan kepada Nek Omah tak pernah kembali barang sepersen pun.

Jogja, 14 Februari 2014

Gendhis Savitri




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline