Lihat ke Halaman Asli

Perianal Abcess

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kamis, 24/12/2009 saya berkendara dengan menggunakan motor cukup jauh. Hari itu kemacetan sudah dimulai sejak pagi hingga malam hari. Maklum, libur panjang telah menanti, bahkan seingat saya hari itu telah dinyatakan sebagai hari cuti bersama. Setelah menunggu kemacetan reda, pukul 23.30 saya sampai di rumah.

Jumat, 25/12/2009 saya merasakan sakit yang teramat di bagian -maaf- anus. Setelah mengkonsumsi obat pereda sakit tanpa hasil, saya memeriksakan diri ke RS Haji Pondok Gede. Dokter hanya mengecek tensi dan menvonis bahwa saya menderita wasir. Karena terlihat pucat, dokter meminta saya melakukan tes darah karena dikhawatirkan saya menderita tipes (demam tifoid) juga. Obat yang saya bawa pulang adalah antibiotik, obat pereda sakit dan obat ambeyen yang dimasukkan melalui anus.

Di sini penderitaan bermula. Saya merasakan rasa sakit setiap menggunakan obat berbentuk peluru ini. Obat keempat, setelah dipakai saya merasakan sakit amat sangat ketika BAB. Sakit ini tidak berkurang sampai sekitar satu setengah jam kemudian saya merasa akan BAB kembali. Kali ini yang keluar adalah obat tersebut masih dalam kondisi hampir terbelah dua tetapi masih sangat keras.

Salah satu obat kemudian saya buka pada pukul 19.00 dan saya biarkan tergeletak di meja hingga keesokan harinya. Hasilnya mengejutkan, obat tersebut masih dalam kondisi utuh keras. Selanjutnya bisa ditebak, saya buang sisa obat tersebut. Saya memutuskan datang ke RS Mitra Keluarga Bekasi Barat bertemu dengan dokter bedah umum.

**

Kali ini dokter bertindak cepat menanyakan beberapa kondisi kemudian meminta saya naik ke tempat periksa. Sambil memeriksa dokter yang berpakaian kasual dengan gaya bicara santai ini terus mengoceh. "Dari kondisi yang kamu ceritakan, ini bukan ambeyen. Ini perianal abcess. Bengkak di saluran pembuangan. Bisa dilihat dari kondisi anus tidak ada yang keluar dari dalam, hanya bengkak. Ini berisi darah atau nanah, dan ini harus keluar semua.

Sakitnya di sini dan di sini kan?" Dokter terus mengoceh sambil mengambil vaseline, memencet beberapa bagian termasuk yang ada di dalam anus yang membuat saya meremas bantal yang ada di ruang periksa. Setelah puas membuat saya menderita, dokter mempersilakan untuk duduk. Suster prihatin melihat muka saya memerah sedang bangkit dari pembaringan sambil mendesah syahdu "Awwwwhhhhh..." Dia tahu persis saya kesakitan dan bertanya "Pusing gak, Pak?" Saya mengencangkan tangan sambil menggeram, menarik napas panjang dan menghembuskan kembali kemudian menjawab "Nggak, Sus. Terima kasih."

Setelah duduk, sambil mencatat dan membuat gambar saluran pembuangan dia menerangkan. "Sakit di anus itu bukan monopoli wasir. Wasir mempunyai gejala khas yaitu ada bagian yang keluar. Ini bukan wasir, ini namanya perianal abcess. Bengkak di saluran pembuangan berisi darah dan nanah. Ini kenapa kondisi kamu on off on off. Sebentar demam ketika bengkaknya tambah besar, kalo sudah BAB dan ada darah yang keluar, reda. Begitu seterusnya, karena ini tipikal gejala infeksi." Sambil menerangkan dokter membuat sketsa yang tidak begitu indah di kertas rekam medik. "Ini yang menjelaskan kenapa kamu kesakitan waktu pakai Faktu (nama obat yang dimasukkan melalui anus) dan keluar masih utuh. Karena bukan wasir kok diobatin pake obat

wasir. Dokter yang periksa juga ngawur, tanpa lihat bagaimana dia bisa bikin diagnosa?"

Masih melanjutkan mencorat-coret, "Intinya seluruh kotoran harus keluar dari infeksi. Kalo tidak keluar juga, ini harus dioperasi untuk kotorannya. Saya kasih kamu obat untuk penyakit ini. Salah satu obatnya bikin pusing. Kalo ada apa-apa, telpon saya" lanjutnya sambil memberikan kartu nama. Masih menambah kebaikan dan menujukkan asas keterbukaan, "Sekarang jaman modern, kamu buka itu komputer, internet. Cari apa yang namanya perianal abcess kalo kamu pingin tahu lebih lanjut" sambungnya. Percakapan cukup panjang, tapi kurang lebih itu inti yang dia sampaikan.

**

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline