Lihat ke Halaman Asli

Jomblo Dalam Lintas Teologi

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13853085381086283845

[caption id="attachment_304071" align="aligncenter" width="300" caption="jombloway"][/caption] Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih

Kesendirian atau jomblo merupakan suatu fase alamiah dalam kehidupan manusia. Di satu saat manusia membutuhkan kesendirian, di satu saat juga manusia membutuhkankebersamaan atau keramaian. Pandangannya terhadap dunia luar-lah yang menegaskan pemaknaan hubungan dirinya dengan yang diluar eksistensi dirinya. Dalam beberapa pandangan teologi klasik, kejombloan juga terkadang dimaknai sebagai arena survival dalam menjalani kehidupan. Ia diibaratkan sebagai suatu wadah demi menegaskan kesatuannya bersama Semesta Tuhan. Misalnya dalam tradisi Buddhis maupun kristen/ katholik yang asketik, manifestasi manusia untuk memperoleh kenikmatan transedental bisa dikerangkakan dalam bentuk “hidup yang menjomblo”. Ibaratnya, kejombloan dimaknai sebagai wadah untuk menetralisir gejolak nafsu manusia yang tak terkendali, karena dalam pandangan ini, nafsu dipandang sesuatu yang bisa menjauhkan diri manusia dengan Tuhan. Ia merupakan manifestasi kehendak negatif dari setan.

Dalam kekristenan, kita mengenal seorang tokoh heroik yg bernama Yesus Kristus. Dogma yang paling utama mengenai teologi kekristenan, ditekankan sekali bahwa untuk menjadi Yang Kudus, Yesus harus melepaskan "jubah-jubah hasrat kemanusiawiannya", salah satunya bahwa Yesus itu tidak menikah/kawin (Jomblo). Karena kejombloaannya merupakan salah satu dogma terpenting, ya tentunya ajaran yang mengatakan bahwa Yesus itu tidak jomblo (seperti dalam epik Biarawan sion), harus dipatahkan. Yesus merupakan sosok suci sang juru selamat yang harus bersih dari nafsu-nafsu manusiawi. Ibaratnya: "Demi menanggung dosa umat, Yesus hidup menjomblo".

Beberapa konsep tradisi Buddhis yang klasik juga kita bisa menemukan fenomena yang seperti ini. Untuk menjadi seorang yang tercerahkan, ia harus melepaskan jubah kenikmatan duniawinya, salah satunya dengan menjomblo. Seks dianggap suatu simbol kehendak manusia yang liar. Jika ia tidak direpresifkan, maka ia bisa menjalar menjadi sebuah bencana. Ajaran yang asketik seperti ini mulai dicanangkan oleh Sidharta Gautama, yang lalu diikuti murid-muridnya dan biarawan-biarawan sekarang pada umumnya.

Pada tradisi keislaman, kejombloan juga mendapat tempat yg sedemikian unik diantara ajaran-ajaran keagamaan yang bermetamorfosis . Sebut saja An-nawawi, Rabiah Adawiah, dll. yang hidupnya menjomblo dengan berbagai alasan. Konon An-Nawawi hidup menjomblo karena ingin menghormati wanita. Selain itu, justru dalam status pernikahan-lah, wanita mempunya beban tanggung jawab yang berat. An-Nawawi khawatir apabila menikah lalu istrinya tidak menjalankan “pekerjaan rumah tangga” yang memang tidak diwajibkan oleh Allah kepada para istri, an-Nawawi kemudian marah. Marah pada istri lantaran istri tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dapat mendatangkan kemarahan Tuhan. Berbeda dengan Rabiah Adawiyah. Tak terhitung sudah banyak pria yang ingin melamarnya, namun ia tolak. Rabiah Adawiyah berpendapat bahwa jika ia memilih hidup dalam sangkar cinta yang bernama pernikahan, maka hal tersebut bisa memasungkan dirinya dari Cinta kepada Allah. Cinta kepada manusia adalah hal yang fana, sedangkan Cinta kepada Allah adalah hal yang abadi.

Salah satu syair terkenal Rabiah Adawiyah, kini banyak didendangkan sebagai sebuah puji-pujian kepada Tuhan di kalangan sufi.

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam samudra cintaMu Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip Manusia terlena dalam buai tidur lelap Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup Tuhanku, demikian malampun berlalu Dan inilah siang datang menjelang Aku menjadi resah gelisah Apakah persembahan malamku Kau Terima Hingga aku berhak mereguk bahagia Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka, Demi kemahakuasaan-Mu Inilah yang akan selalu ku lakukan Selama Kau Beri aku kehidupan Demi kemanusiaan-Mu, Andai Kau Usir aku dari pintuMu Aku tak akan pergi berlalu Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu”

Bagi manusia yang belum mampu secara batin, menjomblo merupakan syarat yang paling utama untuk menjauhi apa yang disebut sebagai maksiat (ya walau pada kenyataannya, muncul banyak penafsiran mengenai term maksiat yang menopangkan konsep dirinya pada moralitas). Maksiat dipandang sebagai dinding penghalang dalam komunikasi-dialektika antara manusia dan Tuhan.

Bait-bait tulisan Beyond good & Evil-nya Nietzshe secara sekilas membahasa fenomena keagamaan seperti ini secara negatif. Ia menamakan pengalaman ini sebagai Neurosis, yakni gejala kenikmatan diri (karena kesakralan) dengan cara menyiksa diri. Mungkin bagi sebagian Pos-Marxis, ini bisa disebut sebagai sebuah kesadaran palsu, yang dimana sebuah kehendak yang dilakukan si subjek, ternyata ia dikendalikan oleh The Big Others, dalam hal ini doktrin-doktrin Agama. Seolah-olah, bahwa hasrat alami manusia berupa cinta maupun seks hendak direfresifkan, atas dasar kehendak The Big Others. Kesadaran Palsu ini sudah sedemikian rupa terinternalisasinya Struktur simbolik ke dalam ego, sehingga subjek tak mampu menampilkan keorisinilannya. Pada konteks ini, subjek telah terpasung oleh Big Others, dan Big Others ini menelusup melalui pelbagai macam pendidikan moralitas, agama, budaya pop di media, dsb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline