Lihat ke Halaman Asli

obrolanvika

perantara

Mengenang Nenek Saat Membaca Artikel Pinang Sirih dan Migrasi Manusia National Geographic

Diperbarui: 15 April 2021   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pinang Sirih. Doc: National Geographic


" Hiii, kok merah-merah gitu sih mulutnya nenek? Dibawa ke dokter bu segera!"  Kepanikan di tengah tarikan tangan saya sesaat melihat nenek keluar dari kamar tidurnya subuh itu. Bibir nenek yang biasanya berwarna coklat muda, tetiba pagi itu penuh kesumba. Tak hanya itu namun gigi yang bersih walau tidak rata, kali ini komat-kamit seperti mengunyah sesuatu yang berwarna merah. Anehnya tidak ada raut kesakitan maupun desis perih jika terluka.

Bukannya segera membantu nenek berpakaian (beliau memakai kain batik yang dibikin ikat sarung dan BH khas perempuan Jawa zaman dulu), namun suara tawa ibu berderai di sampingku. Dahi saya terasa mengerut dan sedikit mengeras. Saya tak mengerti dengan reaksi perempuan yang melahirkan saya tersebut. Fyi, saya masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak waktu itu.

Alat-alat. Doc: National Geograpic


"Lah kok ibu tertawa tuh gimana to?"
"Simbah itu bukan gusi berdarah nduk! Simbah lagi nginang biar giginya awet dan sehat. Tuh ga bolong-bolong kaya kamu!"

Saya yang sedikit pening, perlahan-lahan mendekati nenek yang juga senyum seraya duduk di sofa ruang tamu. Kedua belah jarinya dengan sigap melipat beberapa daun sirih hijau yang sebelumnya sudah ditaburi kapur, sepotong gambir dan pinang. Sepertinya nenek sudah menyiapkannya sehari sebelumnya. Nenek memang sedang menginap di rumah kami setelah dijemput bapak kemarin. Rindu anak perempuan sulungnya apalagi cucunya yang biasanya dua minggu sekali bertandang ke desa.
 
" Arep simbah ajari nginang po nduk? Enak loh!" 

"Mboten mbah. Nuwun, Saya lebih suka permen. Hehe!"

Wadah dari kuningan. Doc: National Geographic


Sampai nenek meninggal, para cucunya sepertinya belum pernah mencicipi nikmatnya menyirih pinang. "Segar walau getir kalau pertama kali menyirih!" begitu ibu menjelaskan saat itu. Ibu selaku putri sulung nenek memang pernah menyoba sirih pinang saat masih kecil. Nenek memang tinggal di pedesaan yang sangat umum jika perempuan lanjut usia masih menyirih. Pada zamannya, aktivitas menyirih merupakan tradisi turun temurun bahkan bukan hanya dilakukan oleh perempuan saja. Kata ibu, seingat saya, kakek semasa hidup juga terkadang menyirih sembari menikmati senja bersama 11 buah hatinya.

Kilasan memori tentang alm nenek dan ibu tadi tetiba terlintas sesaat membaca salah satu judul artikel dari kumpulan liputan National Geograpic edisi Merapah Rempah. Berada di halaman 62-71, artikel yang ditulis oleh Dani Kosasih serta dilengkapi oleh beberapa foto dari Rahmad Azhar Hutomo, berhasil membawa saya kembali sejenak ke masa kecil. Manusia memang kitab teles yang terhimpun banyak kenangan serta pengalaman.

Tempat dari Banjarmasin. Doc: Pribadi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline