Lihat ke Halaman Asli

Dialog Dini Hari

Diperbarui: 15 Agustus 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

“semestinya kulangkahkan ini pada hal yang sama yaitu mencintaimu dengan seluruh kesederhanaan hatiku, jika alasan ini masih kau sanggah biarlah aku menjadi alasan itu agar kau tau yang kau sanggah itu adalah sebentuk hati yang kusebut kesederhanaan bahagia”

Masih tetap berada pada tangkai-tangkai rindu, menggelayut dengan manja mengalun bersama luka. Entahlah kapan akan berhenti? kemudian waktu biarlah dia setulusnya berdenting sebab cinta ini terlalu utuh sampai-sampai aku mengingkari waktu juga akan menyembuhkan segalanya. Tetapi tetap. Biarlah berada pada rasa yang kuat karena sebuah keutuhan mesti disertai kesungguhan.

Aku merelakan sebagian waktuku untuk melupakan lelap bukan karena aku manja menulis tentangmu tetapi pahamilah mataku merelakan rasa lelap demi membuat keabadian sajak-sajak tentangmu. Biarkan aku dalam subuhku bercerita dengan sepi kemudian goresan-goresan pikiranku tertuang dalam kanvas puitika.

Sedini ini, aku melawan rasa lelah. Aku memusatkan pikiranku dalam tarian-tarian manis jariku. Aku tidak letih. Aku sedang mencoba merasakan apakah dekapan embun masih setia memastikan jika suara-suara hatiku berbaur dengan sempurna untuk menulis dalam dialog dini hari tentangmu. Maaf, kehendak hatiku sekuat karang, ombak pun enggan menyapa. Jika semaunya menyapu pun ombak tak mampu berbuat apa-apa.

Juga sedini ini aku bercengkerama dengan hatiku, aku menyebutnya sengketa dalam hati. Namun ini sederhana. Sengketanya melahirkan sajak-sajak drama estetika. Jika ini salah. Benarkanlah. Karena aku bukanlah sutradara handal, aku hanya penulis jalanan. Memulihkan apa yang akan kutulis lewat merdunya kata-kata yang terlukis.

Lalu sedini ini aku bertanya? Apakah esok akan menerimaku kembali seperti cinta yang kita ciptakan dulu. Seperti cinta yang kita puisikan dalam rona-rona rindu sebentuk rinai-rinai hujan. Mungkin masih perlu waktu. Jika tidak, mungkin bisa kita bubuhkan cinta kita mekar dalam satu pot yang sama. Ya, aku lupa. Kita berbeda. Jadi, biarkanlah sedini ini kisah dulu berhenti.

Sedini pagi ini, basah mulai menghampiri. Bukan aku tak bisa menjauh aku hanya menyegarkan tubuhku agar rasa melawanku tak menyerah. Bukankah ini namanya kekuatan. Lalu, bolehkah aku bertanya. Mampukah kau membaca apa yang kutulis dengan senyummu juga air matamu? Sebab aku masih merindui tawa itu dalam gelas-gelas kosong pikirku. Semoga.

Mungkin kalau diijinkan aku menangis, berilah aku satu tempat yang sunyi. Tempat dimana aku bisa menghamburkan air mataku sepuasnya. Setelah itu aku akan diam dan akan berlalu seperti seharusnya aku pergi.

Sepertinya aku sudah boleh menangis, sunyi ini semakin damai. Aku akan merelakan setetes air mataku jatuh tepat diatas rasa rindu yang menggebu layaknya tetes hujan yang berjatuhan di kiri dan kananku. Ribut! Namun mewakili rasa cemburu dengan rindu ini. ya, aku penikmat rasa rindu, rasa cemburu dan candu mencintaimu. Tapi sedini ini sungguh aku lelah merinduimu. Rindu tanpa akhir itu mati! Aku juga punya batas. Batas terakhir dalam asaku.

Setelah atau sebelum detak jam berhenti melarikan dini ini. tetap saja tak mampu menghentikanku dalam diniku. hanya sebuah retorika semata. Toh, pagi tetaplah tiba hingga aku menunggu dini esok lagi. Lalu sketsa-sketsa rindu mulai kurangkai lagi meramaikan sunyi dengan air mata dan sajak-sajak tentangmu. Tetap itu! Rindu ini sungguh menyiksa, menghabiskan separuh sisa-sisa penat dalam semusim aku merinduimu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline