Minggu sore yang indah, saat matahari sudah mulai meredup, aku baru saja selesai olahraga, berlari keliling GBK. Di perjalanan pulang, (lagi – lagi) pemandangan kehidupan jalanan Jakarta menggugah pikiran dan hatiku untuk berpikir lebih dalam. Tiga anak kecil, mungkin usianya sekitar 6 tahun, sedang bermain, bercanda. Menurutku, mereka lebih tampak seperti berkelahi, saling jambak, cubit, dan cakar, tapi entahlah mereka tampak tersenyum bahagia melakukan adegan itu. Mungkin itu cara mereka ‘berbagi kasih sayang’ dengan teman sebayanya. Ibu tua yang mendampingi mereka pun tampak diam dan santai melihat anak – anak itu bermain di tepian macetnya jalanan sekitar Senayan. Tiba – tiba aku teringat lagu Dionne Warwick yang pernah dinyanyikan oleh bosku saat meeting di radioku dulu, That;s What Friends Are For. ….. Keep smiling, keep shining Knowing you can always count on me, for sure That’s what friends are for For good times and bad times I’ll be on your side forever more That’s what friends are for …… Ya, di tengah kondisi yang serba kekurangan, anak – anak itu terikat dalam sebuah pertemanan, mengekspresikan rasa sayang, dan berbagi kebahagiaan dengan caranya sendiri. Tapi tiba – tiba aku juga ingat, bahwa kadang teman tak selalu ada. Akupun tetiba berpikir, mana yang lebih menyedihkan, sendiri tanpa teman saat susah atau saat bahagia? Sepertinya akan lebih menyedihkan sendiri saat bahagia. Bayangkan, saat sedih dan Tuhan menginginkan kita sendiri, di situlah komunikasi yang intens antara fisik, jiwa, dan pikiran kita dengan Tuhan terjadi. Komunikasi tentang arah diri, tentang apa yang sebenarnya kita inginkan, kita butuhkan, dan tentang apa yang seharusnya kita lakukan, tentang apa yang harus kita pelajari, kita bagi, dan kita syukuri. Bukan kah itu indah? Ok, sebutlah kesendirian saat sedih adalah sebuah fase interospeksi. Lagipula, kalau kita tidak nyaman dengan diri kita saat sendiri, bagaimana dengan orang lain? Nah, gimana kalau kita sendiri saat bahagia. Apakah kebahagiaan itu masih berarti. I mean this way, saat kita punya kebahagiaan tetapi tidak ada seorangpun yang bisa kita ajak berbagi kebahagiaan itu, lalu masih adakah artinya kebahagiaan itu. Saat kita menang, tapi tidak ada seorangpun yang ikut merasakan kebahagiaan dan kebanggaan atas kemenangan, saat kita mendapatkan sesuatu tetapi tidak seorangpun terlibat dalam menikmati hal itu? Bukankah hal itu lebih menyedihkan daripada menikmati tangis sendiri? Sendiri saat kita ingin berkeluh kesah memang menyakitkan, tetapi tidak ada yang lebih menyedihkan daripada sendiri saat kita ingin berbagi kebahagiaan. Because happiness is only real when it’s shared! Anyway, tulisan ini aku dedikasikan untuk teman – temanku. Mulai teman dari kecil sampai teman – teman baru, dan mereka yang akan dikirimkan Tuhan untuk menjadi temanku di masa yang akan datang. Aku percaya, Tuhan selalu mengirimkan malaikat untuk umatnya, yang menyamar dalam berbagai bentuk, dalam bentuk teman salah satunya. I feel so blessed to have friends like you all, guys
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H