Dalam pelayanan di gereja, hubungan antara senior dan yunior sering kali menjadi perdebatan yang kompleks. Senioritas, di satu sisi, membawa pengalaman, kebijaksanaan, dan pandangan yang matang.
Di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan kerendahan hati, dapat memunculkan dominasi yang menekan perkembangan yunior. Ketidakseimbangan ini sering menciptakan konflik, yang bukan hanya menghambat pelayanan tetapi juga merusak keharmonisan dalam tubuh Kristus.
Salah satu dilema utama adalah ketika para senior merasa memiliki otoritas absolut atas setiap keputusan. Pandangan bahwa pengalaman otomatis memberikan kebenaran mutlak menjadi penghalang bagi dialog dan kolaborasi.
Sikap ini dapat mengakibatkan para yunior merasa diabaikan, tidak dihargai, atau bahkan kehilangan motivasi untuk melayani. Padahal, setiap anggota tubuh Kristus memiliki peran unik yang diberikan oleh Roh Kudus (1 Korintus 12:4-7).
Di sisi lain, yunior sering kali merasa kesulitan untuk mengekspresikan ide-ide baru atau inovatif dalam pelayanan. Ketiadaan ruang untuk berkembang membuat potensi mereka terpendam.
Situasi ini menjadi tantangan besar, terutama di gereja yang seharusnya menjadi tempat pertumbuhan rohani dan pelayanan bersama. Dalam banyak kasus, yunior merasa bahwa kontribusi mereka tidak dihargai, sehingga potensi regenerasi dalam pelayanan menjadi terhambat.
Sikap memerintah yang muncul dari para senior juga sering kali bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Dalam Alkitab, Yesus sendiri memberikan teladan sebagai pemimpin yang melayani, bukan yang mendominasi (Matius 20:28).
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pola otoriter masih sering terjadi, di mana keputusan pelayanan didasarkan pada keinginan pribadi atau preferensi kelompok tertentu, bukan melalui musyawarah atau bimbingan Roh Kudus.
Persoalan lain yang sering muncul adalah kurangnya penghormatan antar pelayan Tuhan. Yunior mungkin merasa kurang dihargai oleh senior, sedangkan senior merasa kurang dihormati oleh yunior.
Relasi yang seharusnya didasari oleh kasih dan saling mendukung sering kali bergeser menjadi relasi yang penuh tensi dan ketidakpercayaan. Hal ini berpotensi merusak kesaksian gereja sebagai komunitas tubuh Kristus yang bersatu.
Selain itu, budaya "like and dislike" atau kedekatan pribadi juga menjadi salah satu masalah krusial dalam pelayanan. Keputusan untuk menempatkan seseorang dalam pelayanan sering kali didasarkan pada hubungan personal, bukan pada kompetensi atau panggilan Tuhan.