Lihat ke Halaman Asli

Obed Antok

TERVERIFIKASI

Tukang tulis

Jalan Mundur Demokrasi: Menimbang Wacana Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD

Diperbarui: 16 Desember 2024   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pilkada (antikorupsi.org)

Wacana yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. 

Argumen utama Presiden Prabowo adalah tingginya biaya politik pilkada langsung yang disebut mencapai puluhan triliun rupiah dalam waktu singkat. Ia juga menyoroti beban yang ditanggung negara dan para kandidat, termasuk maraknya politik uang yang mencederai demokrasi.

Namun, langkah ini menuai kritik keras. Pemilihan langsung merupakan salah satu capaian penting reformasi, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. 

Sistem ini dianggap memberikan hak kedaulatan kepada rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Pemilu langsung tidak hanya simbol demokrasi, tetapi juga bentuk nyata partisipasi rakyat dalam politik. Sistem ini menjadi pendidikan politik yang penting bagi masyarakat dan membangun legitimasi lebih kuat bagi pemimpin terpilih.

Pilkada Langsung: Sebuah Pencapaian Reformasi

Pilkada langsung mulai diterapkan setelah reformasi 1998 sebagai salah satu bentuk demokrasi baru yang memberikan ruang partisipasi lebih besar bagi rakyat. 

Melalui UU No. 32 Tahun 2004, rakyat Indonesia untuk pertama kalinya diberi hak untuk memilih kepala daerah secara langsung. Sistem ini menjadi simbol perubahan yang memperkuat kedaulatan rakyat dan transparansi politik. 

Wacana mengembalikan pilkada ke DPRD dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat reformasi. Hal ini juga berpotensi mengembalikan era politik transaksional, di mana pemilihan kepala daerah oleh DPRD kerap dituding minim transparansi dan rawan suap.

Efisiensi Versus Kedaulatan Rakyat

Argumen Prabowo tentang efisiensi politik melalui pilkada DPRD memiliki poin valid, terutama dalam hal potensi penghematan biaya dan konflik sosial. 

Sejarah mencatat bahwa sistem pemilihan melalui DPRD rentan terhadap suap dan manipulasi politik. Pemimpin yang dipilih melalui DPRD berisiko menjadi "sandera" elite politik yang mengutamakan kepentingan pribadi dibanding rakyat. Hal ini bertentangan dengan esensi demokrasi yang bertujuan melayani kepentingan publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline