Kasus penembakan oleh Aipda Robig yang menewaskan seorang siswa SMK Negeri 4 Semarang, GR alias Gamma, mengundang perhatian luas.
Insiden ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang tanggung jawab aparat dalam menggunakan kekerasan dan dampaknya terhadap masyarakat, terutama generasi muda.
Prosedur yang Terukur?
Dalam penegakan hukum, setiap tindakan aparat harus selalu berlandaskan prosedur yang jelas dan terukur, sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.
Penembakan yang dilakukan oleh Aipda Robig, yang menurut hasil pemeriksaan Propam Polda Jateng tidak terkait dengan pembubaran tawuran, mengungkap potensi pelanggaran terhadap protokol penggunaan senjata api. Protokol ini mengharuskan aparat menggunakan kekuatan hanya dalam situasi yang benar-benar mendesak dan proporsional.
Klaim bahwa penembakan tersebut disebabkan oleh kendaraan Aipda Robig yang diserempet memunculkan pertanyaan etis dan profesional. Jika alasan ini benar, maka hal ini menimbulkan keraguan tentang apakah insiden tersebut cukup untuk membenarkan penggunaan kekuatan mematikan.
Tindakan tersebut tampaknya lebih mencerminkan respons emosional ketimbang pertimbangan yang rasional dan terukur dari seorang penegak hukum yang terlatih.
Sebagai aparat penegak hukum, penting untuk selalu mengutamakan profesionalisme dan proporsionalitas dalam setiap tindakan. Respons yang didorong oleh emosi, seperti yang terlihat dalam insiden ini, berisiko merusak kepercayaan publik terhadap aparat.
Oleh karena itu, penting agar setiap tindakan yang melibatkan penggunaan kekuatan selalu dikendalikan oleh prinsip-prinsip hukum yang jelas untuk melindungi hak-hak individu dan menjaga integritas lembaga penegak hukum.
Persoalan Hak Pendidikan Anak
Dampak dari kejadian tawuran ini meluas, terutama terhadap pelajar lain yang kini dilarang bersekolah hingga kasus tersebut selesai. Kebijakan ini tidak hanya mempengaruhi siswa yang diduga terlibat, tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi para pelajar lainnya yang menjadi korban dari pembatasan ini.