Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan sejak 2021.
Kenaikan PPN ini merupakan salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, langkah ini juga memicu kekhawatiran dari berbagai pihak, terutama pengusaha dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Peran PPN dalam Ekonomi
PPN adalah salah satu pajak tidak langsung yang dikenakan pada transaksi barang dan jasa. Sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara, PPN berfungsi untuk mendanai berbagai kebutuhan pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Dalam konteks pandemi COVID-19, peningkatan tarif PPN dianggap penting untuk memulihkan stabilitas fiskal.
Dampak terhadap Daya Beli Masyarakat
Kenaikan PPN berpotensi mengurangi daya beli masyarakat. Dengan tarif yang lebih tinggi, harga barang dan jasa otomatis meningkat.
Masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan dampak paling besar karena sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk kebutuhan pokok.
Tekanan pada Dunia Usaha
Dari sudut pandang pengusaha, kenaikan PPN ini memperberat beban operasional. Pelaku usaha, terutama UMKM, sering kali kesulitan mengalihkan beban pajak ini ke konsumen karena khawatir kehilangan daya saing. Akibatnya, margin keuntungan mereka semakin menipis.
UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Namun, mereka rentan terhadap perubahan kebijakan seperti kenaikan pajak.
UMKM yang belum memiliki manajemen keuangan yang baik mungkin kesulitan untuk memenuhi kewajiban pajak tambahan ini, sehingga terancam kehilangan keberlanjutan usaha.