Di Indonesia, istilah "oposisi" sering kali tidak diakui secara formal dalam konteks politik, karena sistem pemerintahan yang diadopsi lebih berorientasi pada koalisi dan konsensus, di mana partai-partai politik cenderung berkolaborasi dalam pemerintahan.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan dan kritik terhadap kebijakan pemerintah, posisi oposisi yang jelas dan terpisah seperti yang ditemukan dalam sistem parlementer di negara lain sering kali tidak terlihat.
Dalam praktiknya, peran pengawasan DPR tetap ada, tetapi lebih bersifat dinamis dan terintegrasi.
Para anggota legislatif yang berasal dari berbagai latar belakang partai berupaya untuk menjalankan fungsi pengawasan dengan tetap mempertahankan hubungan kerja sama dengan pemerintah.
Oposisi sebagai Penyeimbang
Keberadaan oposisi dalam sebuah pemerintahan adalah elemen penting dalam sistem demokrasi. Oposisi bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan kekuasaan.
Dalam survei terbaru dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), sekitar 67,5 persen masyarakat Indonesia menginginkan adanya oposisi yang kuat dalam pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Hasil ini mencerminkan harapan masyarakat akan adanya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Oposisi berfungsi sebagai saluran suara bagi masyarakat yang mungkin tidak terwakili oleh pemerintah.
Di Indonesia yang memiliki keberagaman yang kaya, penting untuk memastikan bahwa semua kelompok masyarakat memiliki perwakilan yang mampu menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka.
Tanpa adanya oposisi, potensi munculnya kebijakan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat sangat tinggi.