Dalam sejarah epik Mahabharata, kisah Sengkuni dan Duryodhana memancarkan warna gelap dari ambisi dan intrik yang tak berujung.
Di tengah gemerlap kekuasaan kerajaan Astina, Sengkuni, sang patih cerdik, berusaha menciptakan jalan bagi keponakannya, Duryodhana, untuk merebut kekuasaan yang seharusnya menjadi hak sah Pandawa.
Sengkuni adalah sosok yang sangat terampil dalam permainan politik. Dengan akal dan tipu daya yang tajam, ia memanipulasi setiap situasi demi keuntungan Kurawa.
Suatu malam yang gelap, di dalam ruangan rahasia kerajaan, Sengkuni mengutarakan niatnya kepada Duryodhana.
"Duryodhana, kita harus memanfaatkan kelemahan Pandawa, jangan biarkan mereka menghalangi ambisi kita untuk merebut tahta Astina!" katanya dengan penuh semangat, membakar semangat Duryodhana yang selama ini merasa terancam oleh keberadaan sepupunya.
Duryodhana, yang merasa tertekan dan cemburu terhadap ketenaran Pandawa, mengangguk setuju. "Aku setuju, Sengkuni. Kita harus segera bertindak sebelum mereka kembali kuat dan menuntut hak mereka sebagai pewaris yang sah." Kata-kata ini menjadi semangat baru bagi Duryodhana untuk melangkah maju dalam rencana jahatnya.
Kecerdikan Sengkuni terwujud dalam permainan dadu yang curang, yang dia atur sedemikian rupa sehingga Yudhistira, pemimpin Pandawa, terjebak dalam jebakan licik.
Ketika Yudhistira kalah dan harus meninggalkan kerajaan, Sengkuni merasa seolah rencananya telah berhasil.
Namun, saat melihat kesedihan di wajah Duryodhana, dia tahu bahwa ambisi mereka tak akan berhenti di situ. Dengan penuh perhitungan, Sengkuni terus merencanakan strategi untuk menghancurkan Pandawa.
Kepentingan pribadi dan ambisi mengubah Duryodhana dari seorang pangeran yang seharusnya berbudi menjadi sosok yang terperosok dalam keculasan.
Sengkuni menjadi bayang-bayang yang selalu ada, menyemarakkan api permusuhan yang kian berkobar di dalam hati Duryodhana.