Kurikulum Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar, yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, diusung sebagai langkah revolusioner dalam pendidikan tinggi.
Kurikulum ini memberikan lebih banyak kebebasan kepada mahasiswa, dosen, dan institusi pendidikan dalam proses belajar-mengajar.
Tujuannya untuk mendorong inovasi, keterbukaan, dan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan industri dan masyarakat.
Namun, dalam praktiknya, kurikulum ini menghadirkan dilema tersendiri, terutama bagi para dosen pengajar.
Tuntutan Bagi Dosen
Pada tataran mahasiswa, Kampus Merdeka menawarkan kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman di luar program studi utama.
Melalui program magang, proyek independen, kewirausahaan, atau kesempatan belajar di luar negeri, mahasiswa diharapkan memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan dunia kerja.
Implementasi kebijakan ini masih menghadapi berbagai kendala, termasuk kesiapan institusi pendidikan dan kesenjangan antara teori yang diajarkan dan praktik di lapangan.
Bagi dosen, Kurikulum Merdeka menawarkan peluang untuk menerapkan metode pengajaran inovatif, lintas disiplin, dan berbasis teknologi.
Dosen diberikan ruang untuk merancang program yang lebih relevan dengan kebutuhan industri, menyiapkan mahasiswa yang lebih siap kerja, dan berpartisipasi dalam kolaborasi dengan dunia usaha.
Tantangan Infrastruktur