Menjelang pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, pembicaraan mengenai susunan kabinet semakin mendominasi diskursus politik.
Dalam konteks Indonesia, kabinet bukan sekadar eksekutif, melainkan representasi koalisi dan kekuatan politik yang ada. Oleh karena itu, pilihan menteri menjadi sorotan utama.
Prabowo yang berencana mengangkat banyak menteri dari kabinet Jokowi menunjukkan pendekatan pragmatis. Keberlanjutan kebijakan yang terbukti efektif penting dalam politik, dan mengangkat figur berpengalaman dapat meminimalkan risiko dalam pelaksanaan program pemerintah.
Namun, keputusan ini juga mengundang tantangan, terutama dalam menyeimbangkan kepentingan politik dan profesionalisme.
Adanya nama-nama familiar memberikan keuntungan, tetapi penilaian publik terhadap mereka selama periode sebelumnya akan menjadi pertimbangan penting.
Jika PDI-P, sebagai rival Prabowo, merapat ke kabinet, ini dapat mengurangi polarisasi di masyarakat.
Ruang dialog dan kolaborasi antar partai dapat menciptakan stabilitas politik yang lebih baik, namun harus hati-hati dalam menjaga integritas dan ideologi masing-masing.
Kolaborasi Prabowo dan PDI-P bisa menjadi langkah progresif, namun perbedaan visi dan misi bisa memicu konflik.
Penting bagi Prabowo untuk tidak hanya mempertimbangkan loyalitas politik dalam memilih menteri, tetapi juga kemampuan dan integritas mereka.
Pengakuan terhadap menteri berperforma baik di kabinet Jokowi penting, tetapi tidak boleh mengabaikan potensi dari partai lain.
Selain itu, transisi pemerintahan yang mulus atau soft lending diperlukan demi stabilitas ekonomi dan keamanan.