Di tengah kesibukan sehari-hari, banyak orang yang sering kali melupakan pentingnya momen berkumpul bersama keluarga. Namun, bagi Mbak Agnes, ritual wedangan dan pacitan adalah cara untuk menjaga kehangatan dan keharmonisan dalam keluarganya.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan, ritual sederhana seperti menikmati wedangan di pagi hari menjadi sebuah keharusan bagi Mbak Agnes.
Wedangan, yang identik dengan minuman teh manis dan gula batu, bukan sekadar minuman, tetapi simbol dari keharmonisan dan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun.
Di Gunungkidul, wedangan menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas sehari-hari, terutama sebelum memulai aktivitas.
Setiap pagi, masyarakat di Gunungkidul mengawali harinya dengan wedangan yang disajikan bersama pacitan, yang merupakan beragam kue tradisional.
Sajian ini bukan hanya sekadar makanan, tetapi mencerminkan ikatan dan kebersamaan dalam keluarga.
Dalam budaya yang menjunjung tinggi tradisi, wedangan menjadi lambang keselarasan hidup, di mana setiap tegukan teh dan gigitan kue membawa nuansa kehangatan dan rasa syukur.
Meskipun Mbak Agnes kini tinggal di Bekasi, dekat dengan ibukota, ia tetap setia menghadirkan suasana ala Gunungkidul dalam hidupnya.
Baginya, wedangan dan pacitan bukan sekadar makanan, tetapi sebuah cara untuk menyambung kembali dengan akar budaya yang memberi ketenangan jiwa.
Kehidupan di kota besar sering kali terasa bising dan melelahkan, tetapi dengan wedangan, Mbak Agnes menciptakan ruang tenang yang dapat mengingatkan kita akan kesederhanaan hidup.
Mbak Agnes menyajikan wedangan dengan citarasa tradisional. Ia menghindari roti atau kue-kue modern, lebih memilih untuk menghadirkan makanan tradisional yang kaya rasa dan makna.