Lihat ke Halaman Asli

Ara

Pelajar biasa yang masih belajar

Sayap Malaikat

Diperbarui: 8 Januari 2025   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Rumah sakit. Tempat di mana doa-doa lebih banyak dilangitkan, juga tempat manusia lebih banyak berharap. Di tempat ini pula waktu berjalan lambat, tapi hati manusia berlomba-lomba pada harapan, tak peduli seberapa kecil peluangnya. Tak pernah sepi. Jeda tiga menit, nomor antrian berganti di layar. Semakin siang maka akan semakin ramai. Para dokter dan perawat mencurahkan seluruh tenaga dan dedikasi mereka, tanpa mengenal lelah.

     Di ruangan ini lah cerita akan dimulai. Ruangan dengan alasan manusia bisa bertahan hidup lebih lama, juga tempat kebanyakan dari mereka menghembuskan napas terakhir. Didampingi tiga dokter dan beberapa orang perawat, perempuan berusia 21 tahun yang tengah mempertaruhkan nyawanya tuk sang malaikat kecil. Napasnya tersengal, peluh keringat membasahi di sekujur tubuhnya. Di ruangan itu semua usaha dan doa telah dilakukan, tapi kuasa tetap di tangan Tuhan.

     Tangisan bayi perempuan melengking di langit-langit ruangan. Haru juga tangis bahagia menyeruak di dada sang ibu. Lihatlah, anak pertamanya lahir tanpa kurang satu pun. Setelah dibersihkan oleh perawat, bayi itu ditidurkan di samping ibunya tuk diberi ASI pertama. Rasa bangga di dadanya tak terbendung. Persis ketika sang ibu tersenyum, Tuhan berkehendak lain. Itulah senyuman terakhirnya, sekaligus hembusan napas terakhirnya. 26 November 2009, bayi perempuan itu resmi kehilangan ibunya.

     Tetapi itu cerita lama. Hidup harus terus berlanjut. Suka atau tidak suka, waktu akan terus berputar. Motor-motor di jalanan tetap ramai dan berlalu lalang. Gelak tawa anak kecil di taman tetap terdengar. Matahari tetap terbit dari Timur dengan cerahnya. Dunia tidak berhenti sekalipun satu bagian besar yang mengisi tidak ada lagi di sini. Waktu selalu melesat cepat, meninggalkan kenangan yang terasa baru kemarin.

     Kalin tumbuh sehat dengan rawatan nenek dan kakeknya—dari ayahnya. Ayahnya yang bekerja siang dan malam untuk memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Ia jarang bertemu sang ayah, namun bayangannya selalu terasa dekat lewat cerita yang diulang nenek dan kakeknya setiap malam: "Ayahmu itu pahlawan kita." Dalam rumah kecil yang sunyi, suara ketukan tongkat kakeknya, aroma minyak kayu putih dari tangan neneknya, dan surat-surat singkat dari ayahnya menjadi penopang hari-harinya.

     Kalin belajar berteman dengan kesederhanaan. Baginya, kasih sayang yang ia dapat dari tiga orang itu sudah cukup untuk membuatnya merasa dunia tak terlalu sepi, meski terkadang, ia tetap menunggu ayahnya pulang dalam diam. Kalin menyayangi ayahnya, yang notabenenya adalah ayah sekaligus ibu baginya.

     Kalin menjadi pesimis saat tahu di punggungnya terdapat dua buah bekas luka yang sangat mencolok. Bentuk luka itu memanjang dari leher hingga ke pinggangnya. Ketika mengganti pakaian saat jam pelajaran olahraga, Kalin diam-diam menempelkan punggungnya rapat ke dinding, dia takut orang lain mengetahui soal lukanya itu. Tetapi, seiring waktu berlalu, anak-anak lain akhirnya mengetahui tentang luka itu.

     “Wah, serem banget. Kayak monster!” yang terlontar polos seperti itu seringkali adalah yang paling mrnyakitkan hati, hingga akhirnya Kalin menangis. Setelah kejadian itu, nenek Kalin sengaja membawanya mencari guru sekolahnya.

     “Saat Kalin baru lahir, dia menderita penyakit berat. Saat itu ibunya hampir menyerah dengan keadaan, tetapi ia teteap saja tidak tega mengorbankan nyawa kecil ini,” nenek bercerita dengan matanya yang memerah. “Syukurlah saat itu ada dokter pintar yang berhasil menyelamatkannya lewat operasi. Operasi itu meninggalkan dua buah bekas luka di punggungnya.”

     Nenek meminta Kalin untuk menunjukkannya kepada bu guru. Kalin sempat ragu sebentar, tetapi akhirnya dia melepaskan bajunya. Bu guru terkejut saat melihat dua buah bekas luka itu. Tiba-tiba terlintas ide dalam pikiran bu guru, lalu dia mengelus pelan kepala Kalin dan berkata, “Pelajaran olahraga besok, kamu harus ganti baju bareng teman-teman yang lain, ya.”

     Kalin ingin menangis detik itu juga. “Bagaimana kalau mereka mengejekku lagi? Dan mengatakan aku ini monster.” Mata hitam pekat gadis itu berkaca-kaca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline