Lihat ke Halaman Asli

Problematika Sertifikasi Halal

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, perlindungan konsumen di negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia perlu dilakukan. Salah satunya ialah dengan langkah sertifikasi halal. Namun, perlindungan konsumen acap kali terbentur persoalan harga sertifikasi. Untuk itu, regulasi perlu diperkuat, selain UU perlindungan konsumen dan UU pangan. Namun, YLKI juga tidak setuju jika regulasi (sertifikasi halal) diwajibkan, ungkap pengurus harian YLKI, Tulus Abadi, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (28/2/2014). Ketidaksetujuan YLKI atas sifat mandatory (wajib) sertifikasi halal didasari kekhawatiran akan beban ekonomi yang ditanggung pengusaha. Menurut Tulus, ujung-ujungnya para pengusaha bakal mengalihkan beban ekonomi tersebut kepada konsumen. Masalah harga untuk mendapatkan label halal, diakui Tulus, menjadi salah satu hambatan perlindungan konsumen. Sejauh ini, hanya pengusaha, misalnya pengusaha makanan dan minuman yang besar saja, yang bisa mengantongi label halal. Sementara industri kecil menengah (IKM) sulit secara finansial untuk melabeli produknya dengan cap halal.

Direktur LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, untuk mendapatkan sertifikasi halal dari MUI, perusahaan harus merogoh kocek mulai dari Rp 0 hingga Rp 5 juta per produk, tergantung jenisnya, di luar biaya-biaya lain. "Standar per sertifikat Rp 1 juta sampai Rp 5 juta untuk perusahaan menengah ke atas, dan untuk perusahaan kecil dan menengah Rp 0 sampai Rp 2,5 juta. Ini di luar dari transportasi dan akomodasi, tergantung besar atau kecilnya perusahaan," kata Lukman, di kantor MUI, Jakarta, Rabu (26/2/2014). Biaya-biaya untuk mendapatkan sertifikat halal, lanjut Lukman, dibebankan ke perusahaan. Biaya tersebut merupakan biaya jasa yang digunakan untuk mengaudit on desk ataupun on site (lapangan). Kementerian Agama bersikeras menganggap menerbitkan sertifikasi halal merupakan wilayah kewenangannya. Oleh karena itu, aturan dalam Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal harus menguatkan hal tersebut. Pemerintah adalah pelaksana undang-undang, tidak ada ormas sebagai pelaksana undang-undang. Karena sertifikasi halal itu berkaitan dengan hukum, maka otoritas pelaksananya harus ada pada pemerintah," ujar Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor Presiden, Kamis (27/2/2014). Ketua Umum DPP PPP itu menambahkan, MUI akan tetap dilibatkan dalam proses sertifikasi produk halal, yakni dalam hal memberikan rekomendasi. Namun, pihak yang menerbitkan sertifikat itu tetap pemerintah.

Masalah halal dan haram bagi sesuatu makanan adalah masalah sosial yang bersumber dari ajaran agama, sehingga sebaiknya jangan dipolitisasi karena berpotensi menimbulkan dampak destruktif yang mengerikan. Karena negara kita adalah negara demokrasi yang diatur berdasar hukum, maka sebelum menjadi masalah yang lebih serius, harus ada upaya untuk mengatur masalah ini secara hukum. Di dalam hukum UU, PP dan juklak yang perlu ditetapkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif, maka secara jelas akan harus diatur lembaga yang berwenang menerbitkan serifikasi halal, aspek-aspek yang memerlukan pembiayaan dan kemana keuangan yang masuk dari aktivitas ini harus diserahkan kepada negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline