Berdasarkan kajian dan penelitian, Kota Semarang sebagai kota pesisir sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai daerah tropis, Indonesia, termasuk Kota Semarang, sangat rentan pada ancaman demam dengue dari virus yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti. Beberapa parameter iklim seperti curah hujan, temperatur, hari hujan, dan kelembababan ternyata berdampak pada perkembangbiakan nyamuk, termasuk ketahanan dan kemampuan transmisi virus dengue tersebut.
Kota Semarang memiliki sejarah panjang dalam melawan Demam Berdarah Dengue (DBD). Bahkan Kota Semarang sempat menduduki peringkat pertama jumlah kasus dengue tertinggi di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai lima tahun ke depannya. Meski kemudian sempat menurun, di tahun 2013 terdapat 430 kasus yang menyebabkan 4 korban jiwa. Tingginya jumlah penduduk dan dinamika perkotaan, ditambah tekanan faktor iklim menjadi tantangan bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang dalam mencari upaya untuk terus menekan jumlah kasus DBD di masyarakat. Dampak nyata fenomena perubahan iklim terhadap sektor kesehatan, termasuk tingginya angka kejadian DBD di Kota Semarang, menunjukkan kebutuhan Kota Semarang untuk memperkuat sistem ketahanan kesehatan terhadap perubahan iklim tersebut.
Atas dasar tersebut, sejak tahun 2013 sampai pertengahan 2016, melalui ACCCRN, Mercy Corps Indonesia berkolaborasi dengan Tim Strategi Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim Semarang melaksanakan program yang merespon masalah DBD tersebut yang diberi judul ‘ACTIVE – Actions Changing the Incidence of Vector-Borne Endemic Disease – Aksi Mengatasi Kejadian dari Penyakit EndemikBawaan Vektor’. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperkuat kapasitas sistem kesehatan dan ketahanan Kota Semarang terhadap penyakit bawaan vektor yang diperparah dampak perubahan iklim, dengan fokus pada Demam Berdarah Dengue(DBD).
Sepanjang implementasi program, Mercy Corps Indonesia berkolaborasi secara intensif dengan Dinas Kesehatan Kota Semarang dan aktor-aktor lain seperti Dinas Pendidikan Kota Semarang, BMKG, perangkat kecamatan dan kelurahan, para akademisi, serta aktor-aktor kesehatan di tengah masyarakat. Upaya di sini difokuskan pada pembangunan kapasitas masyarakat dan sekolah di 6 kelurahan percontohan di 5 kecamatan, khususnya memperkuat kemampuan dalam pemantauan jentik di lingkungan mereka dan melaporkannya ke Dinas Kesehatan melalui Sistem Informasi dan Peringatan Dini Kesehatan pada Dengue (HIS-HEWS) yang juga dikembangkan di bawah Program ACTIVE.
Pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga lingkungannya dari ancaman virus dengue sangatlah penting karena virus tersebut sangat berpotensi menyerang di rumah-rumah dan sekolah. Maka, menjadi sangat penting bagi semua pihak untuk semakin sadar tentang bahayanya jentik nyamuk dan ancaman penyakit DBD, serta meningkatkan kapasitas dan kemauan untuk rajin memeriksa tempat-tempat penampungan air yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
Selain itu, untuk mendukung alur informasi tentang perkembangan kasus DBD, maka telah dikembangkan juga Sistem Informasi dan Peringatan Dini Kesehatan (Health Information and Early Warning System - HIEWS) yang dapat diakses secara online. Masyarakat dan sekolah sekarang sudah bisa melaporkan temuan jentik nyamuk dan kasus DBD di lingkungannya melalui SMS ke server yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang. Puskesmas dan Rumah Sakit di Kota Semarang juga memiliki akses untuk melaporkan data terkait kasus DBD melalui sistem ini. Pengembangan sistem secara online ini diharapkan dapat meningkatkan respon cepat dari para stakeholder kesehatan di Kota Semarang, khususnya Dinas Kesehatan, untuk mencegah perkembangan kasus DBD yang bisa menyebar cepat. Selain itu, HIEWS juga dilengkapi dengan kemampuan prediksi kasus DBD yang dipengaruhi oleh parameter iklim dengan data yang disediakan oleh BMKG, sehingga Dinas Kesehatan Kota Semarang bisa mengantisipasi perkembangan kasus DBD lebih baik lagi.
Program ACTIVE memang menjadi suatu program uji coba yang dilakukan di 6 (enam) kelurahan percontohan yaitu Sukorejo, Sumurrejo, Kalipancur, Kramas, Tlogomulyo, dan Jatisari. Sejauh ini, dari periode September 2015 sampai April 2016, telah tercatat 10.000 data terkait DBD di HIEWS, dan 7.555 di antaranya merupakan laporan angka bebas jentik (ABJ) dan temuan kasus dari masyarakat. Rata-rata ada sekitar 175 warga dari 6 kelurahan percontohan yang mengirimkan SMS laporan ABJ setiap bulan.
Pada periode tersebut, ada peningkatan ABJ dari rata-rata 69,1% menjadi 95,4% dalam periode 7-8 bulan. Bahkan, di saat kelurahan-kelurahan lain di Kota Semarang sudah banyak ditemukan kasus dugaan DBD pada bulan Januari dan Februari 2016, kelurahan-kelurahan yang menerapkan monitoring ABJ secara partisipatif terbukti lebih memiliki ketahanan karena baru di bulan Maret 2016 kasus ditemukan di kelurahan tersebut. Harus diakui, upaya yang sudah dilakukan lebih memungkinkan untuk menekan kemungkinan terjadinya kasus, bukan berarti tidak ada kasus sama sekali. Pembelajaran ataupun hasil baik yang didapatkan selama implementasi program tersebut diharapkan bisa menjadi referensi untuk Kota Semarang dalam pengembangan program penanggulangan DBD ke depannya dalam skala yang lebih besar, khususnya di tengah tekanan perubahan iklim sekarang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H