Lihat ke Halaman Asli

Peran Anak-anak di Tengah Ancaman DBD dan Perubahan Iklim

Diperbarui: 15 November 2015   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Siswi SD di Kota Semarang sedang melakukan pemantauan jentik nyamuk di rumah warga (dokumentasi program ACCCRN)"][/caption]Demam Berdarah Dengue (DBD) dikenal sebagai penyakit yang menjadi salah satu penyebab kematian utama di banyak negara tropis. Di Indonesia sendiri, hampir 380 kasus DBD dilaporkan setiap hari dan menelan korban jiwa 1-2 orang setiap harinya pada tahun 2010. Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor-faktor iklim, khususnya curah hujan, kelembaban dan temperatur. Dari beberapa penelitian terakhir di bidang kesehatan, masalah di sektor ini cukup dipengaruhi oleh perubahan iklim yang menghangat sehingga siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat, sehingga jumlah populasi lebih cepat berkembang.

Dewasa ini, udara panas dan lembab bisa berlangsung kapan saja sepanjang tahun akibat cuaca dan musim yang makin sulit diprediksi. Ditambah lagi, Indonesia di tahun 2015 ini harus merasakan dampak El Nino yang membuat udara terasa kering dari biasanya. Hal ini diyakini juga berpengaruh pada penyebaran virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes Aegypti sehingga kita harus waspada pada ancaman penyakit DBD sewaktu-waktu.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia selama ini telah melakukan upaya pemberantasan penyakit DBD melalui berbagai regulasi yang diturunkan dari pusat ke daerah yang menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Ini menggarisbawahi bahwa pengendalian penyakit DBD harus fokus pada sumber penyakit, mulai dari tahap telur, larva, sampai nyamuk dewasa.

Mercy Corps Indonesia melalui Program ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network) sejak tahun 2013 bekerjasama dengan Pemerintah Kota Semarang berupaya untuk menghadapi masalah DBD yang diperparah oleh perubahan iklim tersebut. Proyek yang diberi nama ACTIVE (Actions Changing the Incidence of Vector-Borne Endemic Disease) salah satunya fokus pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia di bidang kesehatan terkait pengendalian dan pencegahan penyakit DBD.

Peran serta masyarakat merupakan komponen utama dalam pengendalian DBD, mengingat vektor DBD nyamuk Aedes Aegypti jentiknya ada di sekitar pemukiman dan tempat istirahat nyamuk dewasa sebagain besar ada di dalam rumah. Peran serta masyarakat dalam hal ini adalah peran serta dalam pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara rutin seminggu sekali. PSN secara rutin dapat membantu menurunkan kepadatan vektor, berdampak pada menurunnya kontak antara manusia dengan vektor, akhirnya terjadinya penurunan kasus DBD.

Bergerak langsung di level masyarakat, maka disadari bahwa mencegah penyakit DBD tidak hanya berbicara mengenai orang dewasa, tapi juga anak-anak. Faktanya, anak-anak sering kali menjadi korban DBD itu sendiri. Meningkatkan kesadaran anak-anak dan melibatkan mereka dalam upaya pengendalian penyebaran penyakit vektor ini akhirnya menjadi penting karena seringkali perilaku manusia sendiri yang menyebabkan nyamuk mudah berkembang biak. Menanamkan pemahaman untuk memberantas sarang nyamuk pada anak sedari dini diharapkan dapat menjadi modal dasar pengetahuan, pemikiran, serta perilakunya di masa depan.

[caption caption="Dokter kecil didorong untuk memiliki rasa percaya diri dalam berkomunikasi saat kegiatan pemantauan jentik (dokumentasi program ACCCRN)"]

[/caption]

[caption caption="Kegiatan penguatan kapasitas dokter kecil terkait penanggulangan demam berdarah di Sekolah Dasar (Dokumentasi Program ACCCRN)"]

[/caption]Saat diberikan peran lebih, anak-anak makin termotivasi untuk terlibat menjaga lingkungannya. Rasa memiliki, termasuk rasa berkontribusi pada kesehatan lingkungan dipercaya dapat meningkatkan rasa percaya diri pada anak. “Saya senang bisa mengingatkan rumah warga yang bak mandinya ada jentik nyamuk supaya dibersihkan, supaya lingkungan sehat,” kata Annisa, siswi kelas 4 SDN Tlogomulyo, Semarang yang sekaligus dokter kecil di sekolahnya. Tasya, dokter kecil lain dari SDN Sukorejo 02, meski malu-malu tapi berkomitmen menjalankan perannya untuk memantau jentik nyamuk di rumah warga dekat sekolahnya, “Wah, jentik di bak mandi Bapak kok banyak. Minta tolong dibersihkan ya, Pak. Minggu depan soalnya diperiksa lagi.” Warga yang menerima masukan pun sangat mengapresiasi kehadiran anak-anak ini. Komunikasi yang baik memang harus dibangun untuk menjaga lingkungan bersama tanpa memandang usia.

Para dokter kecil di 19 Sekolah Dasar di Kota Semarang yang sudah dilatih ini terbukti sangat bersemangat mulai dari saat diberi pelatihan PSN sampai saat praktik pemantauan jentik nyamuk di sekolah dan rumah warga sekitar. Pemantauan jentik disesuaikan dengan kegiatan Jumat Bersih di sekolah. Masing-masing dokter kecil dibekali dengan senter dan daftar isian untuk mencatat kondisi lokasi yang diperiksa. Ada yang meninjau lingkungan rumah masyarakat, ada yang memantau tempat perkembangbiakan nyamuk di sekolah. Laporan dari dokter kecil ini akan di serahkan kepada guru pendamping dan dilaporkan kepada Dinas Kesehatan melalui SMS.

 

Kontributor: Rachman Ramadhana, Dwi Supratiwi, Anang Wahyudi (Project Assistant ACTIVE - ACCCRN)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline