Lihat ke Halaman Asli

Novita Sari

Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

Cerpen: Nyanyian Pemusik Padi

Diperbarui: 5 Maret 2020   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi petani. (sumber: Pixabay/Brazil Topno )

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan hari musik Nasional. Selama ini kudengar orang-orang memperingatinya untuk mengenang Wage Rudolf Supratman, ah ya siapa pula yang tidak mengenal beliau, pencipta lagu kebangsaan Indonesia raya yang masyhur itu.

Berbeda dengan keluarga kami yang memperingati hari musik saat musim panen tiba. Ya, kami bermain musik setiap bulir-bulir padi mulai ranum, mungkin ini semua karena profesi bapak dan ibuku sebagai pemusik padi. Hei apa kau pernah mendengar profesi itu?Tenang saja aku akan dengan senang hati menceritakannya padamu, kemarilah, akan ku beri tahu semua yang kutahu.

Ayah dan ibuku adalah pekerja yang ulet. Mereka bekerja dengan bersiul-siul kecil di tengah sawah sejak pagi hingga sore hari, mereka menyanyikan lagu senandung panen untuk mengusir burung-burung gereja yang membentuk selimut hitam di hamparan sawah milik warga. 

Saat mereka bersiul dan menyanyi, kulihat padi-padi menari, pohon-pohon di tepian sawah menggerak-gerakkan rantingnya, tak lupa belalang, kupu-kupu dan semut kecil berhenti dari rutinitasnya, mereka juga ikut bersenandung ria. Angin-angin seakan menyambut mereka dengan lembut.

Saat ayah dan ibuku hendak memulai pekerjaannya, biasanya aku disuruh untuk duduk di pondok, sebuah rumah non permanen yang dibuat untuk beristirahat saat musim panen Telah tiba. Atapnya dibuat dari daun pandan kering yang dijalin dengan lidi kelapa, cukup untuk 3-4 orang saja. 

Dengan menggunakan tengkuluk, sebuah benda yang menutupi kepala ibu dari terik matahari ibu berjalan berdampingan dengan ayah ke tengah hamparan sawah. 

Keduanya telah membawa bermacam perlengkapan di atas nyiru, berbentuk bulat dari anyaman rotan. Aku memperhatikan ayah dan ibu di muka pintu, sambil menggoyangkan kaki, bibirku perlahan bergerak membentuk sudut lingkaran kecil, ku tiup-tiup mengikuti irama ayah dan ibu.

Ayah dan ibu akan selesai jika matahari telah hilang dari peraduannya, berganti warna kemerahan yang disusul oleh gelap malam. Para warga dusun kami telah mafhun dengan pekerjaan ayah dan ibuku, mereka akan membiarkan ayah dan ibuku bekerja seharian. Sebagai gantinya, mereka meletakkan bermacam hasil kebun yang mereka punya.

Dalam ingatanku, pekerjaan mereka ini bertahan cukup lama. Setiap musim panen yang terjadi satu tahun sekali, ayah dan ibu meraup keuntungan dengan pembayaran hasil bumi yang bisa menghidupi kami hingga musim panen berikutnya. 

Bahkan berkat kemampuan ayah dan ibuku yang tidak dimiliki oleh orang lain, saat area sawah digunakan untuk Ubai, sebuah prosesi adat mengambil ikan di masyarakat Melayu lama, kami pun kebagian mendapatkan ikan-ikan segar hasil tangkapan.

"Ini berkat bantuan pak Kadir dan istri. Ikan-ikan di sini terjaga, jangankan manusia, burungpun takut mau mengambilnya dari dari sawah yang sudah dipasang bapak dan ibu" kata pak Kosim sambil melepaskan ikan dari Sakan, anyaman bambu  dan daun kelapa muda untuk kandang ikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline