Lihat ke Halaman Asli

Erny Kusuma

Suka kuliner dan jalan-jalan, kemudian diurai dalam sebuah artikel.

Suara "Bleng" Penanda Waktu Buka Puasa, Tak Terdengar Lagi

Diperbarui: 4 Juni 2018   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (dok.istimewa)

Suara "Bleng" Penanda Waktu Buka Puasa, Tak Terdengar Lagi

Semua orang pasti memiliki kenangan masa kecil saat bulan Ramadhan. Sayapun begitu. Menghabiskan masa kecil di sebuah kota di Jawa Tengah, ada yang melekat dalam ingatan saya. Sebuah tradisi yang dulu sangat kental, entahlah sekarang.

Kenangan itu mulai dari saat menjelang bulan puasa hingga akhir puasa atau malam takbiran. Masih ingat dalam benak saya saat saya masih duduk di sekolah dasar. Semua yang berhubungan dengan segala aktivitas berpuasa pun ikut saya jalani.

Beberapa hal yang saya lakukan saat masih kecil, antara lain:

1. Membersihkan diri dengan keramas batang padi yang dibakar atau lazim disebut merang. Ditahun 1980-an meski sampho sudah ada, namun tradisi di kota kecil Pemalang Jateng saat itu masih keramas dengan merang. Khususnya saat menjelang bulan Ramadhan atau sehari sebelum berpuasa.

Cara membuat shampo merang yakni batang padi sebelumnya dibakar. Hasil pembakaran dicampur air kemudian disaring. Nah hasil penyaringan merang itu yang dipakai untuk shampo. 

Belakangan baru saya ketahui kalau batang merang sangat bagus untuk memperkuat dan menghitamkan rambut.

2. Setiap sore menunggu Bedug Maghrib dengar suara "bleng" dari Alun-alun kota

Suara "bleng" adalah penanda waktu buka puasa. Bleng itu berasal dari dentuman meriam dari bambu. Caranya dengan menyulutkan api disalah satu bagian bambu, sedangkan pada bagian dalam bambu diberi minyak tanah. Sekarang di jaman now penanda saat berbuka puasa sudah tidak lagi terdengar suara "bleng" yang cukup memekakkan telinga. 

3. Masa kecil saya hidup disebuah asrama polisi atau kerap dinamakan penduduk sekitar atau penduduk kampung sebagai anak tangsi. Karena saat itu di asrama tidak ada mushola, sehingga setiap sholat tarawih kami anak tangsi ikut di masjid kampung. Berkumpul dengan anak warga kampung sangat menyenangkan. Kerukunan dan pertemanan  tercipta karena bulan Ramadhan. Padahal di keseharian anak tangsi dan anak warga kampung biasanya saling ejek dan bertengkar. Biasa dunia anak-anak. Tapi saat bulan puasa diantara kami bisa melebur dan menyatu saat shalat tarawih. Unik ya?

Itulah kenangan saya saat kecil di bulan Ramadhan. Masih melekat dan tak mungkin terhapus dari ingatan. Bila dikaitkan dengan jaman now sangat jauh berbeda ya? Jaman now tidak mengenal sampho merang asli dan suara "bleng" sebagai penanda buka puasa yang tak terdengar lagi kini.  Bilakah terulang kembali masa itu?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline