Bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi di banyak titik di Sumatera dan Kalimantan. Bukan hal yang baru, bencana ini terus terjadi hamper setiap tahun. Apalagi didukung oleh kondisi atmosfer yang kering sehingga sulit untuk terbentuknya awan hujan. Awan hujan seperti cumulonimbus (cb) sangat dibutuhkan karena akan menghasilkan hujan untuk memadamkan hotspots yang berada di wilayah bencana karhutla.
Salah satu upaya pemerintah adalah menerapkan teknologi modifikasi cuaca atau dahulu dikenal dengan hujan buatan. Pelaksanaan hujan buatan ini harus didukung oleh kondisi atmosfer yang potensial sehingga aktivitas TMC dapat optimal. Sayangnya, sangat sulit sekali menemukan awan potensial pada kondisi penuh asap ini, walaupun masih ada kemungkinan-kemungkinan terbentuknya awan potensial.
Jika melihat keluar, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menerapkan hujan buatan untuk karhutla dan berbagai keperluan. Negara tetangga kita, Thailand sudah lebih dahulu menerapkan teknologi ini terutama untuk pertaniannya. Oleh karena itu, jangan heran kalau pertanian di Thailand cukup maju dan mengalahkan Indonesia.
Selain Thailand, China juga sudah lama menggunakan teknologi ini dan menjadi buah bibir pada saat perhelatan Olimpiade di Beijing pada tahun 2008. Pada saat pembukaan ajang olahraga terbesar itu, pemerintah menggunakan teknologi modifikasi cuaca untuk menyukseskan acara itu. China juga melakukan modifikasi cuaca untuk mitigasi bencana karhutla di negaranya.
Ternyata, China sudah melakukan modifikasi cuaca selama 60 tahun. Dari kegiatan teknologi modifikasi cuaca, China telah berhasil untuk memperbaiki ekologi dan sumberdaya air dengan penambahan hujan (rain enhancement) di Danau Qinhai dan hulu sungai Kuning.
Tujuan dari proyek ini adalah untuk memperluas area lahan basah, meningkatkan biomassa, dan cakupan padang rumput, serta secara bertahap mengembalikan fungsi konservasi ekosistem air. Selama satu decade (2006-2016) China mampu meningkatkan curah curah hujan sekitar 55,173 milyar kubik di daerah Sanjiangyuan serta meningkatkan limpasan Sungai Kuning sebesar 8,038 miliar meter kubik.
Mereka melakukan hujan buatan secara kontinu, meskipun tidak ada bencana karhutla. Penting sekali memanfaatkan kondisi cuaca di musim transisi untuk membasahi lahan sebelum memasuki musim kering. Karena pada saat transisi inilah awan-awan potensial lebih sering muncul dibandingkan pada saat musim kering. Pembasahan lahan ini juga berfungsi agar tanah tetap lembab dan mencegah munculnya api pada saat musim kering.
Perlu dilakukan mitigasi bencana karhutla secara kontinu dan jangka panjang untuk mencapai tujuan Indonesia bebas asap karhutla. Jangan hanya pada saat bencana sudah membesar, baru bertindak. Karena kerugian akibat karhutla ini cukup besar dan disinyalir kerugian bencana karhutla tahun 2015 melebihi bencana tsunami Aceh tahun 2004.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H