Lihat ke Halaman Asli

Nyayu Fatimah Zahroh

TERVERIFIKASI

Everything starts from my eyes

Terima Kasih, Pak Kadisops

Diperbarui: 13 September 2015   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beliau adalah seorang yang memiliki pangkat di Lanud Supadio yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Melihat mukanya saja baru tiga hari yang lalu, mengenal namanya saja saya lihat di name tag yang tersisip di sebelah kanan dadanya yang tercetak “Sidik” nama lengkapnya Sidik Setiyono. Perawakannya tinggi gagah tipikal tubuh tentara, kulit menghitam tanda seberapa lama ia mengabdi pada negara, selalu mengenakan baju dinas biru karena bertugas di lanud. Dari ujung rambut hingga ujung sepatunya sangat rapi menunjukan beliau adalah pejabat. Jabatannya sebagai Kadisops (Kepala dinas operasional), dan ditambah tugasnya untuk memfasilitasi kami yang sedang melaksanakan kegiatan TMC. Saya tak pernah mengobrol dua mata bersama beliau namun sudah dua kali saya mendengarkannya memberikan sambutan khusus kepada kami. Pernah juga beberapa kali mengobrol ringan dengan kami dan senyumannya itu... (hehehe). Kata-kata sederhananya yang ia berikan membuat saya berurai air mata.

Saya bekerja ke luar kota, untuk melaksanakan TMC sebagai flight scientist yang bahkan hanya sebagian kecil orang saja yang mengetahui tugas para flight scientist. Sebenarnya pekerjaan ini gampang-gampang sulit namun tak bisa saya pungkiri kalau pekerjaan ini cukup menguras tenaga dan pikiran walaupun hanya duduk-duduk di Posko, lalu terbang mencari awan selama kurang lebih 1.5 – 2 jam lalu pergi ke hotel tinggal makan dan tidur. Kami berangkat ke posko jam 8:30 lalu pulang dan sampai hotel sekitar jam 17:00. Hal ini tentu terlihat lebih enak jika dibandingkan dengan pekerjaan saya di kantor. Pagi-pagi setelah sembahyang subuh sekitar jam 5 kurang, saya langsung berangkat ke stasiun dengan menggunakan kendaraan umum. Sampai kantor jam 7:30 lalu dikantor hanya duduk-duduk depan leptop mengerjakan hal yang perlu dikerjakan. Pulang jam 4 sore sampai rumah adzan magrib berkumandang. Dari segi biaya pun jika dinas pengeluaran lebih sedikit, tapi membuat kangen berat sama keluarga. Sungguh jika saya ingin mengeluh, rasa capek ini sangat terasa.

Tadi pagi, Pak Kadisops berpamitan karena dipindahtugaskan ke Jakarta. Raut mukanya terlihat sabar dan ramah namun tegas. Apa yang beliau ucapkan di pertemuan terakhir di ruangan rapat berukuran 5x10 meter sama seperti yang ia ucapkan ketika menyambut kami. Di awal sambutannya, penerbang pewasat Hawk ini sempat menyinggung kalau beliau berasal dari Kebumen sama seperti pak Korlap kami. “Saya sama asalnya sama pak Korlap, dari Kebumen. Tapi saya di Kampungnya”. Kampung bukan sembarang kampung. Pak Kadisops pernah berkata kalau Google pun belum mengenal kampung nya tersebut. Bahkan Pak Korlap kami yang menghabiskan masa sekolahnya hingga SMA di sana pun tak mengenal nama kampung Pak Kadisops. “Walaupun saya dari Kampung, saya bangga bisa menggunakan pesawat canggih, keliling Indonesia, berkenalan dengan orang-orang dari seluruh Indonesia”. Dari perkataanya saya seharusnya bersyukur dengan melakukan pekerjaan ini, saya bisa berkenalan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda dengan saya dan belum tentu orang yang berlatar belakang sama dengan saya bisa naik pesawat bersama TNI AU, dan melihat langsung pesawat-pesawat keren.

“Bergesekan itu wajar, memang sakit tapi akan selalu diingat”

Beliau mengingatkan kita walaupun ada perbedaan pendapat dalam pekerjaan itu wajar bahkan sampai sakit hati. Tapi hal tersebut dapat memberikan pelajaran bagi kita dan akan selalu diingat. Yang perlu kita lakukan adalah memaafkan dan tetap menjalin silaturahmi.

“Kita ini pengabdi kepada negara untuk kepentingan masyarakat umum, orang banyak, untuk bangsa dan negara, itu berarti ibadah. Semakin kita ikhlas dengan pekerjaan yang banyak maka semakin banyak pahala yang kita dapat dari Tuhan. Dibanding dengan pekerjaan sedikit tetapi tidak ikhlas”

Kata-kata inilah yang membuat saya tertegun dan terpukul. Apa yang telah saya lakukan selama lebih dari 10 hari ini. Sia-sia. Hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Kalau saja saya ikhlas sejak awal, karena ini untuk kepentingan orang banyak agar mereka tidak menghirup asap lagi, agar lahan-lahan tidak terbakar lagi, agar air-air hujan masuk ke badan air dan dimanfaatkan oleh khalayak umum. Muka saya memerah terasa hingga ke kelenjar air mata, hingga akhirnya tak dapat saya bendung lagi. Air mata pun menetes di sudut mata saya. Buru-buru saya hapus agar tak malu dilihat orang. Tapi tak bisa, air mata berontak ingin keluar karena emosi. Hidung pun ikut-ikutan bereaksi dengan mengeluarkan air.

Pak Kadisops di Supadio ini orang baik, jarang saya temukan di tempat lain. Meskipun ia atasan, tapi ia tidak gila hormat, bahkan ia mengakui kalau ia berasal dari kampung antah berantah. Ia mau menyapa kami yang hanya menumpang di sini dan tidak berpangkat. Beliau tuan rumah yang sangat baik. Ia juga mengetahui jam pulang kami yang tak tentu karena ia menunggu kami hingga pulang yang tak jarang pulang jam 6 dari posko.

Kata terima kasih sedalam-dalamnya saya ucapkan ketika berjabat tengan dengan beliau dan dibalas dengan senyuman berwibawa. Mungkin bapak tidak tahu kalau sepatah kata dari bapak berpengaruh terhadap saya dan Allah pasti yang membalasnya. Saya berharap bertemu bapak di lain waktu dan tempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline