Lihat ke Halaman Asli

Tumpal Sitompul

Imbangkan yang tersirat dan tersurat

Kriminalisasi Kentut

Diperbarui: 31 Agustus 2016   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://m.tempo.co/read/news/2011/02/06/121311399/di-malawi-kentut-sembarangan-bisa-dipenjara

Chaponda, Menteri Kehakiman Malawi, seperti yang dilansir berita ini, ingin merealisasikan gagasan kriminalisasi teramat penting dalam abad ke-21: bahwa martabat masyarakat bisa dinilai dengan bagaimana adab masing-masing individunya mengeluarkan kentut, apakah dibuang secara sembarangan atau dibuang pada tempatnya. Kentut yang dibuang dari dubur pelaku secara serampangan kemudian dianggap mengotori udara. Dan pelaku oleh karenanya diancam PIDANA penjara. Sejak berita ini diturunkan tahun 2011 lalu, saya ngga tahu bagaimana kelanjutan dari rencana kriminalisasi kentut ini.

Untuk model berpikir ala Chaponda ini, jika ajeg dan mendarah daging menjadi “punitive attitude”. “ Sikap memidana”, sikap yang menomorsatukan hukum pidana sebagai satu-satunya upaya. Karena memang dipikirannya tidak ada upaya-upaya lain yang bisa diterapkan dengan baik selain menakut-nakutinya dengan pidana, dengan memberikan hukuman penjara. Jadi jangan terlalu heran jika kentut yang dianggap masalah oleh Chaponda ini pun menuntut solusi dengan diterapkannya hukum pidana.

Selain itu sulit memberikan injeksi kepada sikap punitif ini bahwa sesungguhnya kriminalisasi merupakan upaya yang rasional. Upaya yang membutuhkan banyak analisa, kajian, penelitian. Misal, adakah kemudian riset ‘kriminologis’ yang dijadikan rujukan ilmiah betapa di dalam masyarakat terdapat fakta yang menunjukkan kentut dianggap sangat berbahaya dan merugikan. Hasil kajian yang kemudian menyimpulkan bahwa kentut bisa menyerang kepentingan umum: individu, masyarakat, dan negara. Kajian ini penting supaya dalam pelaksanaannya, perlindungan dan keadilan yang diharapkan dari penegakan aturan itu tidak malah berbalik menciderai keadilan masyarakat itu sendiri, terutama bagi mereka yang tawakal dalam menggemari ubi goreng. Terlebih juga buat mereka yang kemudian menahan-nahan kentut hingga kram perut lalu mati karenanya.

Kemudian, adakah kajian yang menguraikan secara rinci tentang biaya yang diperlukan untuk proses penegakan aturan tersebut dan manfaat apa yang hendak diperoleh (cost and benefit principle). Bagaimana pula dengan kesiapan sumber daya aparat penegak hukumnya? Bisa anda bayangkan, setiap harinya polisi -yang bisa jadi personelnya sangat terbatas- sudah berdarah-darah menangkap bandar narkotika, maling, pemerkosa, koruptor dan lain sebagainya, kini ditambah lagi dengan aturan pidana baru: mengejar2 orang yang kentut sembarangan. Hal ini menegaskan kriminalisasi juga memperhatikan beban tugas yang sudah diberikan kepada aparat penegak hukumnya. 

Sebenarnya masih banyak teori dan prinsip-prinsip kriminalisasi lainnya yang bisa digunakan agar tidak mengada-ada dalam melakukan kriminalisasi. Agar apa yang tak senang anda hirup tak berujung penjara. Agar apa yang anda anggap berbeda tak ujug-ujug berujung perkara. Sehingga dampak terburuk yaitu over kriminalisasi bisa dihindari. Dan tidak terjadi situasi –seperti yang disampaikan Roeslan Saleh- yaitu dimana hukum pidana tidak bisa berfungsi dengan baik dan karenanya pula kehilangan wibawanya.

“Sikap memidana” tersebut tidak terkecuali hidup dan beranak pinak di republik ini. Di republik ini, yang konon masyarakatnya super sibuk dalam beragama, terdapat sekelompok orang mengajukan judicial review terhadap –salah satunya- pasal 292 KUHP. Delik ini diperluas, yang juga oleh karenanya pelaku homoseksualitas dewasa sangat diharapkan dapat di pidana.

Lalu bagaimana “sikap memidana” itu hidup? Jika menggunakan dalil yang seringkali mereka sampaikan bahwa preferensi seksual yang mereka anggap menyimpang ini adalah “penyakit”, maka kita patut heran jika pendekatan yang digunakan oleh mereka adalah pidana.

Karena sepengetahuan saya “penyakit” itu cukup dengan “terapi atau pengobatan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline