Hallo
Akhir-akhir ini berita di televisi sedang diramaikan oleh sistem zonasi untuk PPDB. Dari beberapa sumber, Mendikbud menyatakan kalau zonasi ini dilakukan untuk pemerataan mutu pendidikan sekaligus pemetaan di wilayah mana saja yang belum memiliki sekolah terutama tingkat SMP dan SMA. Nah, pro kontra terjadi karena kadang ada yang ingin masuk SMA X tapi tidak masuk zona si calon siswa A. Jadi si A tidak bisa mendaftar ke SMA X padahal SMA X adalah sekolah favorit. Sementara ada juga yang setuju karena calon siswa B yang kurang pandai tapi masuk ke zona SMA X jadi lebih leluasa mendaftar ke SMA X yang bagus dan dekat dari rumah. Jadi, seharusnya gimana?
PPDB tahun ini beda dengan tahun sebelumnya. Yang saya ketahui hanya dari tahun 2007-2015 , yaitu sejak saya mendaftar SMA sampai adik saya lulus SMA. Setelah itu saya tidak terlalu memperhatikan sistem PPDB. Di tempat tinggal saya dari 2007 sampai 2015 juga ada zonasi. Tapi batasnya adalah per kabupaten/kotamadya. Seingat saya untuk calon siswa luar kota kuotanya 10% dan calon siswa dalam kota 90%. Yang dimaksud siswa dalam kota adalah yang domisili dan/atau asal sekolahnya ada di wilayah kota. Hal ini dilakukan karena Pemkot ingin agar warga dapat memanfaatkan fasilitas yang telah tersedia di kota. Jangan sampai warga asli tersingkir oleh calon siswa dari luar kota yang nilai UNnya lebih tinggi.
Selain domisili, yang menjadi pertimbangan penerimaan siswa yang jelas adalah nilai UN, baik secara jumlah total ataupun nilai per mata pelajaran. Urutan pilihan sekolah juga menentukan ranking penerimaan siswa. Jika di SMA A ada 2 calon siswa yang sama-sama dari kota, jumlah nilai UAN sama, rincian tiap mata pelajaran juga sama persis tapi siswa X mendaftar sebagai sekolah pilihan ke-1 dan siswa Y mendafatar sebagai sekolah pilihan ke-2, maka ranking X akan lebih tinggi dari Y. Saat itu calon siswa boleh memilih 3 sekolah, 2 SMA negeri dan 1 SMA swasta, kemudian nanti akan masuk ke sistem dan bisa otomatis terdepak ke SMA pilihan ke-2 atau ke-3 saat nilai yang dimiliki kalah dari calon yang lain.
Zonasi tingkat kota ini menyebabkan semua calon siswa dengan nilai tertinggi berkumpul hanya di SMA favorit saja. Siswa ground state akan masuk di SMA level menengah ke bawah (Ground state mengacu pada istilah kimia untuk atom pada kondisi paling stabil dan energinya paling rendah atau tidak reaktif. Siswa ground state berarti siswa yang ketika ke sekolah belajarnya lebih santai tanpa tuntutan aneh-aneh sampai ke detail penjahitan seragam sekolah, intinya tidak perlu banyak usaha dan buang energi dia bisa sekolah dengan lancar). Perbedaan nilai UN siswa yang diterima akan membawa dampak sampai dengan kelulusan nanti.
Kalau SMA favorit mendapat siswa dengan nilai tertinggi, dapat dipastikan bahwa memang siswa itu jenisnya pinter. Ketika proses sekolah dan akhirnya lulus, dia tetap akan pinter karena memang sudah spesies pinter. Mau ketularan nakal sekalipun, nakalnya tetap pinter dan ilmiah. Ketika lulus, nilainya baik, sekolah favorit itu dengan bangga akan menulis dalam poster yang sangat besar "SEKOLAH KAMI MENCETAK LULUSAN TERBAIK SE-KOTA TAHUN 2019". Hei, sekolah, kalian bukan mencetak orang pintar, memang siswa yang kalian terima sudah ditakdirkan pintar dari lahir. Kalian tidak berkontribusi banyak. Kalau sudah begitu, sampai kapanpun sekolah itu akan jadi favorit karena dikira kualitas pendidikannya beda dengan sekolah lain, padahal TIDAK ! Sekolah jenis ini hanya menang bisa milih siswa. Siswa pinter diterima, yang lain disingkirkan.
Sistem zonasi pada PPDB 2019 lebih mengarah pada pemerataan agar di suatu sekolah tidak hanya terkumpul calon siswa yang pandai saja atau yang biasa saja, tapi bisa campur. Saya dulu sekolah di SMA unggulan ke-10 dari 11 SMA negeri di kota, sudah tahu kan kualitas saya seperti apa? Salah satu guru saya pernah menyampaikan keluhannya tentang sistem PPDB yang berlaku. Saat itu beliau berkata, "Nasib kalian apes. Sudah ga pinter, masuk SMA ini lagi. Apes... Apes.... Kalian pasti ga sadar apesnya dimana, sini saya jelaskan. Kalian itu sudah bodo kalau dibanding dengan murid SMA favorit itu. Karena kami guru-guru sadar kalau kalian bodo, kami kasian, jadi kami menetapkan nilai KKM antara 60-65. Hasilnya, kalau kalian ga bisa waktu ujian, ya di raport kalian nilainya cuma dua pilihan, 60 atau 65. Kalian bisa dapat 75 itu sudah dewo, sudah setengah mati belajarnya.
Nah, kalian tahu KKM SMA favorit itu berapa? Mereka berani pasang di 80-85 karena mereka PD muridnya pinter. Sebodo-bodonya murid disana, di raport pasti nilainya 80 atau 85. Mungkin ga mereka dapat 60 kaya kalian? Ga mungkin ! Memangnya kepala sekolah mau nanggung kalau muridnya ga naik kelas semua? Padahal, apa ada murid di sana yang waktu pelajaran hanya bisa longah-longoh kaya kalian? Ada ! Saya jamin ada ! Buktinya apa? Mereka masih butuh bimbel disana-sini dan les privat. Kalian juga kan? Berarti dimana pinternya mereka?"
Saat itu guru saya menambahkan kalau yang seharusnya diberi apresiasi lebih adalah guru dari sekolah non favorit yang bisa membawa siswanya untuk lulus ujian. Dengan siswa yang sedikit lebih bodo dan agak lebih males, guru akan memberikan usaha yang lebih dalam mengajar agar siswanya lulus dengan hasil yang baik. Kalau siswa SMA favorit sudah lebih sadar diri untuk belajar karena adanya pemikiran "masa dari SMA favorit ga lulus UN?"
Dengan adanya sistem zonasi di PPDB 2019 ini diharapkan ada pemerataan penerimaan di sekolah favorit. Menurut saya itu lebih adil, agar sesekali guru sekolah favorit merasakan mengajar murid yang Pentium 1 dan Pentium 2. Tapi ternyata ada juga yang tidak setuju karena merasa dirugikan tidak dapat mendaftar di sekolah favorit karena tidak sesuai zona. Padahal kalau bisa daftar belum tentu juga diterima, emang situ okey? Hal ini didasarkan dari pengamatan saya bahwa jumlah pendaftar di sekolah favorit bisa mencapai 3-4 kali lipat kuota diterima, bahkan bisa lebih. Kalau yang diterima hanya 25% dan apa pasti dijamin anak anda, adik anda, atau anda sendiri termasuk dalam golongan 25% tadi? Yakin? Aku sih no.
Kalau saya secara pribadi sangat setuju dengan sistem zonasi ini, karena saya termasuk orang yang tidak ngoyo dalam memilih sekolah. Diterima ya syukur, ga diterima ya pilih sekolah yang lain. Saya juga cenderung memperhitungkan peluang diterima terlebih dahulu sebelum mendaftar, karena kalau sampai tertolak sakit hatinya lumayan. Lebih baik sekalian tidak mendaftar daripada ditolak kan? Perhitungan yang saya lakukan hanya didasarkan pada hasil penerimaan tahun sebelumnya dan nilai yang saya peroleh saat ini. Kalau peluanganya terlalu kecil, silakan mundur. Percuma. Ganti yang lain saja. Masih banyak sekolah lain. Sekolah juga tidak harus di sekolah favorit, semua sekolah sama saja. Materinya sama, ujiannya sama, waktu ujian sama, waktu daftar sama, yang beda hanya lokasi dan nama gurunya saja. Jadi kenapa harus meributkan tidak bisa mendaftar di sekolah dengan cap favorit? Bye !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H