Generasi milenial. Tak luput dari gaya hidup yang 'sesuatu'. Termasuk dalam hal cara berpakaian. Hingga muncul istilah OOTD. Outfit Of The Day. Hidup seolah tak utuh tanpa penampilan yang cihuy.
Tren fashion seolah menjadi lagu wajib. Tak heran, beragam distro maupun butik baru bermunculan. Desainer-desainer muda tumbuh bak cendawan di musim hujan. Masing-masing menawarkan keunggulannya. Anak-anak gaul pun berlomba untuk kenakan model terbarunya.
Penjualan on line maupun off line sama-sama bergairah. Di satu sisi, tentu menjadi kabar yang menggembirakan. Peluang usaha semakin bertambah luas. Namun di sisi lain, gaya hidup butuh biaya. Bagi mereka yang berlatar belakang ekonomi pas-pasan, tentu akan merepotkan.
Tak heran, social climber pun bermunculan. Untuk mengejar gaya, segala cara dilakukan. Termasuk cara yang negatif. Agar penampilan kelihatan wah, modal hutang ditempuh. Gali lubang. Gali lubang. Gali lubang.
Tapi tren gaya berpakaian tak hanya di kalangan muda saja lho. Di kalangan STW, setengah tuwa. Middle age. Tren ini juga sudah melanda. Tak heran di berbagai media sosial. Orangtua tak mau kalah bergaya dibandingkan anaknya. Hahaha...
Untunglah, sebagai 'milenial purba', saya tak begitu tergoda. Maklumlah, lingkungan rumah cukup mempengaruhi cara berpakaian juga. Ada ukuran-ukuran etika tertentu yang membatasi cara berpakaian kita.
Aurat dan adab. Menjadi 'pagar' kita untuk mematutkan diri dengan pakaian. Sarung, baju (koko), jubah, kopyah, maupun penutup kepala lain adalah tren kami sehari-hari. Dalam kegiatan apa saja. Termasuk saat acara-acara resmi tertentu.
Bagi sebagian orang mungkin terlihat 'agak risih'. Masak ke mall kok sarungan. Belanja ke pasar kok sarungan. Rapat sama bupati kok sarungan. Meskipun sarung, baju koko, baju batik, kopyah telah 'menasional'. Menjadi ciri khas berpakaian bagi sebagian penduduk negeri ini.