Lihat ke Halaman Asli

Mas Nuz

Penulis biasa.

[Valentinsiana] Kisah Dua Hati

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

[16]

by: Gaga & Nuzulul

Voila, medames et messieurs  votre programme a Paris. Nous vous souhaitons bienvenue en France……….”

Sontak hayalanku terbang ke tahun 1996. Delapanbelas tahun telah berlalu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di La Ville lumiere, Kota Sejuta Cahaya. Paris, yang telah menorehkan catatan panjang dan mengharu biru. Cerita tentang seorang anak desa yang tersesat di jalan sejarah.

Sosok perempuan di hadapanku inilah yang menerbangkan kembali ingatanku. Natalie, sungguh kamu tak banyak berubah. Masih dengan senyum manismu. Serta rambut hitam tebalmu. Bibir tipis lebarmu pun tetap kau biarkan tanpa sapuan gincu. Tapi, apakah benar itu kamu?

“Basrie...?”

“Eh iya, maaf. Ibu Natalie Fraud...?” Entahlah mengapa tiba-tiba aku segugup ini. Seolah aku berdiri tanpa sepasang kaki.

“Kamu Basrie Ardian, kan?” Kembali si ibu ini mencoba untuk meyakinkan dirinya.

“Natalie Burhan?” Aku juga sempat terperangah. Antara rasa kagum dan tak percaya.

Sontak semua pandangan mengarah kepada kami. Apalagi sohib seniman satu gengku ini. Biasanya sok usil, tumben jadi sopan. Mungkin mereka dapat memahami keterpanaanku saat ini.

“Ile Saint-Louis...,” tiba-tiba dia menyentuh bahu kananku.

“Ile de la Cite,” dengan refleks aku balas kata sandi yang biasa kami ucapkan dulu.

Sejenak kami terpaku dengan pikiran masing-masing. Oh, ini Natalie Fraud, kurator seni yang kemarin sempat diberitahukan akan hadir di galeri kami. Natalie yang dulu aku kenal dengan julukan ‘Le Chocolat’, si Cokelat. Maklum kulit cokelatnya begitu khas, manis. Dia juga yang menerima kami berenam saat tiba pertama kali tiba di Perancis, 1996 dulu.

Saat itu dia mewakili CNOUS (Centre National d’Ouvriers Universitaires Superieurs) lembaga di bawah kementerian pendidikan nasional yang memfasilitasi mahasiswa tugas belajar. Demikianlah perkenalan pertama kami, sangat berkesan. Sampai Natalie akhirnya dipindah ke Metz.

Enam bulan kebersamaan kami sangatlah berkesan. Meski kami harus hidup mandiri di asrama mahasiswa di Orsay, tetap ada momen tersendiri untuk bertemu. Entahlah, meski teman bule mulai banyak, rasa nyaman menyergap saat bersamanya.

Setiap malam Sabtu sering kami habiskan waktu bersama dengan Bateaux Parisien. Menyusuri sungai La Seine yang membelah kota Paris. Momen satu jam perjalanan semakin mengakrabkan kami. Hingga kami buat sandi persahabatan itu.

“Natalie. Sekarang kamu tinggal dimana?” Aku mencoba memecahkan kekakuan ini. Namun dia masih saja terdiam.

“Natalie...,” kembali aku memanggil lirih setengah berbisik.

“Eh, apa Han?”

“Kamu sekarang tinggal dimana?”

“Ehm...aku tinggal di pinggiran Kota Hamburg. Kota yang tak hilang kesan seperti Paris.”

“Oh...”

“Kamu...sombong sekali Han. Terakhir aku mau pindah ke Metz, begitu sulit aku hubungi kamu.” Tajam dia menatapku.

“Kamu kejam sekali Han,” kembali dia membombardirku dengan kata-kata.

Aku pun kembali terdiam. Mencoba menata hati dan mulut tentunya.

“Ya Allah, mengapa Engkau uji dengan pertemuan ini ?” gumamku dalam hati.

“Maaf, aku tidak sempat memberitahumu. Aku pulang Nat,” mencoba menata kata untuk memberi alasan.

“Tapi tak seharusnya begitu bukan? Angelique, Tristan, Marie dan Elivire kau kabari. Aku tidak sama sekali. Begitu pentingkah mereka dibanding aku?”

Ku lihat, bulir bening mulai meleleh dari dua kelopak mata indah itu. Secepat kilat aku raih tangannya. Segera beranjak menuju sofa di belakang galeri kami.

“Maaf ya, bro. Madame Natalie aku ajak cari angin dulu.” Bergegas sambil aku lambaikan tangan ke para sohibku. Mereka hanya tersenyum dan lambaikan tangan ke arah kami.

Entahlah, sofa besar ini rasanya tak muat. Menahan rasa kangen ku yang tiba-tiba menyergap.

“Nat, aku pulang karena abah sakit keras. Aku khilaf...,” lirih, seolah aku berkata pada diri sendiri.

Sementara masih saja Natalie tajam memandangku dengan berurai air mata.

Plak! Plak! Plak!

Tanpa aku mampu mengelak tiga kali tamparan mendarat di mukaku.

“Kau kejam Burhan!”

Duduk diam terpaku. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Kata maaf pun rupanya tak mampu luluhkan hatinya.

“Apa bule-bule itu lebih penting dari aku Han? Kamu idiot. Kau pikir keakraban itu bukan bentuk perhatianku padamu?

Masih saja aku mematung. Mencoba beranikan diri menatapnya.

“Masih ingin menamparku? Tampar lagi sepuasmu Nat. Aku ikhlas. Semoga kepasrahanku ini bisa meredakan kebencianmu,” sedikit tegas aku bicara.

“Aku sudah berusaha menghubungimu di Metz. Tapi staf konsulat tak mau berikan nomor teleponmu. Kamu pindah ke Berlin, saat aku kembali ke Orsay.”

“Aku kecewa berat Han. Makanya tak seorang pun aku ijinkan untuk memberikan nomor kontakku ke mahasiswa Indonesia. Apalagi aku juga sudah tidak menjadi LO lagi.”

Hujan salju yang kulihat dari balik jendela semakin mengharu-biru hatiku. Hawa kebencian Natalie, menegakkan bulu kudukku. Aku bergidik. Tapi aku tahu bahwa kebencian yang ia pendam selama ini, tetap menyimpan kata rindu. Kalau tidak, tak mungkin ia membuang air mata yang sebenarnya tak perlu jatuh. Ia belum ikhlas kehilangan diriku. Dan nyatanya, kerinduan yang sama masih saja terselip di antara kalbuku. Apalagi hari ini.

Aku mengutuk diriku sendiri, yang kala itu begitu bodoh menganggap remeh untuk pulang tanpa memberitahukannya. Padahal hubungan kami sudah tergolong istimewa, bukan sekedar teman biasa. Sepatutnya ia kuberitahu. Semestinya, ia menjadi orang pertama yang melepasku kembali ke tanah air tahun itu.  Arghh ... kamipun lama dalam diam. (G&N)

Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi Valentine.

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline