Lihat ke Halaman Asli

Mas Nuz

Penulis biasa.

[FKK] Berita Langit Bumi Majapahit

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BERITA LANGIT BUMI MAJAPAHIT

Oleh: Nuzulul Arifin

[No. 41]

Nanar mataku ini saat memandangmu. Meski tak lagi semagis dulu. Namun tetap saja wujudmu, seolah melemparkan ingatanku pada peristiwa 20 tahun yang lalu. Tiba-tiba keresahan menyeruak di relung hati. Bulir-bulir peluh, deras membasahi dahiku.

“Nu, aku tahu ini tak seperti yang kita rencanakan. Tapi aku mohon, tetaplah kamu menyayangi aku. Sebagaimana empat tahun waktu yang kita lewatkan,” dengan sorot mata penuh permohonan, Risya menatapku lekat.

Aku hanya diam. Tak tahu harus berkata apa. Atau harus berbuat apa untuk menjawab permohonan itu. Sebab bagiku, Candi Wringinlawang ini telah menjadi saksi bagi suka dan duka kami. Di sinilah kami pernah mengikrarkan kata ‘setia’. Di sini pula aku bertekad akan memberikan yang terbaik untuk masa depannya.

Memang sedari awal ku sadari. Bahwa ini tak akan mudah. Perbedaan yang cukup mencolok atas  status sosial kami, rasanya akan menjadi penghalang besar. Namun karena semangat Risya yang luar biasa, sehingga aku pun kahirnya luluh. Merajut janji meski kami saling berjauhan.

Aku meneruskan perguruan tinggi di Jogja. Sementara Risya mengikuti anjuran orangtuanya. Dia merintis pendidikan sebagai calon dokter di Jakarta. Pertemuan kami pun lebih sering dengan saling berkirim surat. Maklumlah, di awal tahun 1990-an, kami belum mengenal teknologi handphone.

Liburan semester atau hari raya, benar-benar kami manfaatkan untuk bersama. Sepeda ‘Phoenix’ biru kepunyaanku, menjadi tumpangan favorit kami. Meski untuk itu, dia harus rela menitipkan mobil Mercy Tiger di rumah sahabatku, Fandi. Kebetulan rumahnya di Desa Bejijong, Trowulan. Daerah yang sekelilingnya dipenuhi oleh peninggalan bersejarah Kerajaan Majapahit.

Hampir  16 buah candi yang ada di sekitar Situs Purbakala Kerajaan Majapahit pernah kami kunjungi. Meski lelah, haus dan lapar saat mengayuh pedal, namun akan hilang dengan sendirinya saat ku lihat senyum Risya. Putri seorang direktur rumah sakit ternama di sebuah kota di Jawa Timur. Aku sendiri pun kadang tak percaya. Malaikat mana yang tiba-tiba menautkan hatinya padaku.

Pernah satu kali, bapak menegurku dengan keras. Memukulku hingga lebam biru nampak jelas di punggungku. Cak Tik, tetanggaku yang sopir taksi, memergokiku sedang berboncengan di sekitar komplek Candi Sumur Upas. Kebetulan dia rupanya sedang mengantarkan dua orang turis dari sebuah hotel di Surabaya.

“Kamu jangan kurang ajar ya Nu. Ingat, kuliahmu belum kelar. Lagian, berani-beraninya kami membonceng putri Dokter Fajar. Mau ditaruh mana muka bapakmu ini?” dengan mimik amat gusar yang selalu kuingat sampai saat ini.

Kalau sudah demikian, aku pun hanya diam. Sebab menjawab sama dengan menantang. Aku sadar bahwa aku salah. Menyayangi seorang perempuan yang strata sosial ekonomi jauh di atas keluarga kami. Keluarga seorang pensiunan tentara yang bergaji pas-pasan. Tapi sebenarnya ini juga bukan mauku.

“Kamu tak malu dengan keadaanku, Ris?” demikian aku pernah tanyakan.

“Plak!! Apa? Kamu masih saja egois, Nunu!” tiba-tiba tangan putih mungilnya itu mendarat keras di pipiku.

“Bangun Nu! Ini aku Risya. Masih seorang manusia. Hampir 6 tahun aku memendam rasa ini. Kamu ingat kan? Saat Persami di Cangar Pacet dulu, siapa nama yang aku panggil saat aku siuman dari demamku?” Aku hanya diam tercekat.

“6 tahun bukan masa yang pendek, Nunu...” lalu meledaklah tangisnya. Aku pun menjadi serba kikuk. Mencoba memegang kedua pundaknya dengan perlahan.

“Maaf, Risya. Bukan maksudku....”

“Cukup! 6 tahun kamu menyiksaku dengan sikap cuekmu. Kepada kawan yang lain kamu bisa sok akrab. Tapi saat kau berhadapan denganku? Mengapa kamu mesti menghindar?”

“Aku...aku...,” tak sanggup aku lanjutkan kata-kata. Sebab dalam hati pun sebenarnya aku mengakui, bahwa sebenarnya aku juga sangat tertarik padanya.

Tiba-tiba saja timbul keberaianku untuk merengkuhnya. Suasana semilir di pinggir sawah timur Candi Wringinlawang seolah menambah syahdu suasana. Kebetulan candi ‘kumuh’ ini (dulu) di belahan utara, timur dan selatan masih asri dengan sawah 3 musim tanamnya. Salah satu sawah adalah milik mantan kepala desa, yang merupakan sahabat akrab bapakku. Paklik Ji, demikian kami biasa memanggilnya.

Kepada Paklik Ji ini pula biasanya aku sering curhat. Termasuk masalah pelik hubunganku dengan Risya. Tapi justru beliau yang selalu mendorongku untuk optimis. Dia mencontohkan dirinya sendiri, berhasil mempersunting Bulik Endang. Putri seorang juragan batik tersohor di Pasar Pahing Kota Mojokerto. Meski pekerjaan Paklik Ji dulunya ‘cuma' sopir angkutan umum trayek Mojokerto-Jombang.

Hampir 4,5 tahun kami jalani kebersamaan ini. Hingga di penguhujung liburan Hari Raya Idul Fitri medio tahun 90-an, dia memberiku kabar menyakitkan itu. Dia akan menikah dengan seorang Kepala Puskesmas di sebuah kota di Pulau Madura. Pilihan orangtua, demikian alasan yang disampaikan.

Untuk membuktikan bahwa dia masih begitu menyayangiku, dia menantangku untuk ‘kawin lari’.

“Aku belum gila, Ris. Aku pun tak mau berbuat seperti itu. Tentu bapakku bisa membunuhku jika aka lakukan seperti permintaanmu,” mencoba tetap tegar, meski aku begitu sakit saat itu.

Lalu, aku masih sempat mengantarkan untuk terakhir kalinya ke candi ini. Menatap langit biru bersama. Memandangi hamparan hijau sawah milik Paklik Ji yang mulai berbulir. Menghujamkan mata susuri permukaan dinding candi yang mulai ditancapkan besi-besi. Namun sama sekali tak sanggup untuk mencuri pandang ke wajah Risya. Sebab bagiku, saat itu Bumi Majapahit seolah berwarna kelabu. Sekelabu rasa hatiku yang sebenarnya sempat aku khawatirkan dulu.

Kami seolah menjadi dua orang anak Bumi Majapahit yang pulang  karena kalah perang, ‘Perang Pargreg’. Perang yang dikenal sebagai perang habis-habisan saat Majapahit dipimpin oleh Tri Bhuawana Tungga Dewi. Bukan siapa melawan siapa. Tapi saudara yang saling menumpahkan darah saudaranya yang lain.

20 tahun aku mencoba tak mendatangi lagi candi ini. Namun rupanya panggilan hati begitu kuat. Memandangi lagi saksi pembawa berita dari langit. Candi Wringinlawang yang sekarang begitu cantik dan utuh. Tak lagi ku temukan puncak yang patah di salah satu gapuranya. Secantik kenyataan, bahwa inilah kenyataan. Baik menurutku, mungkin belum tentu baik menurutNya.

---Bumi Majapahit, 11 Juni 2014.---

Keterangan:


  • Untuk melihat keterangan tentang Candi Wringinlawang Trowulan Mojokerto, bisa melihat cerita saya di sini.

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akun Fiksiana Community)

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline