Musim hujan selalu membawakanku suatu kecemasan sekaligus ketenangan. Semacam melankolia yang menyerang dan menusuk dari belakang. Dengan wajah murungnya, dia beri aku kecupan yang hangat di kening. Dia kasih padaku selimut tua, yang aromanya persis seperti tanah basah.
Tapi kamu, cantikku, tak ada hal di dunia ini yang lebih mencemaskan di saat neraka runtuh tepat di depan wajah kita. Ialah saat kulihat kau menangis sambil tanganmu secara ragu mengemas barang-barang. Kemudian koper itu pergi bersama taksi, yang di dalamnya kau ikut menumpang.
Kau cantik. Aku harap aku dapat mengatakannya dengan jelas kepadamu. Kenyataannya, cantikmu itu cukup membuat matahari menjauh beberapa jengkal setiap hari. Atau kiamat hari ini tertunda, barang kali pindah ke besok. Atau lusa. Tenang saja, kau hanya perlu mengecupku lagi. Lagi, lagi, dan lagi.
Musim hujan akan berhenti. Pelangi bakal tumbuh di antara kebeningan langitnya. Butir-butir air yang cembung di daun pohon, memperlihatkan matahari yang sedang bengkak. Dan jikalau aku melihat dirimu, aku melihat diriku sendiri. Lantas, bagaimana mungkin aku dapat pergi?
Semua kisah bakal berakhir. Seperti aku yang ingin lekas menamatkan buku yang sedang aku baca. Tak ada yang menarik di antara semua buku. Segala-galanya membosankan, hanya sebuah godaan cerita yang sama, cuma dalam kemasan bahasa dan rasa yang berbeda.
Banyak penulis buruk di dunia ini, Iknaku, dan aku adalah salah satunya. Penulis buruk itu biasanya suka bohong, suka menghayal tidak jelas. Seperti aku yang membohongi diriku sendiri bahwa kau ditakdirkan untukku. Sementara aku sendiri menyadari, bagaimana mungkin dapat aku mencuri nasib. Namun kukatakan, aku bukan pencuri, Tuhan saja yang terlalu pelit atau terlalu dangkal membikin cerita tentang kita.
Kita buang jauh-jauh segala yang fana itu. Selama ini, kau ada di sampingku. Selalu. Itu cukup. Aku tak membutuhkan semacam buaian. Bayang-bayang palsu seperti mempercayai waktu bakal terulang kembali. Selama aku dan kau memiliki kesadaran yang sama, biarlah cinta ini selalu memabukkan kita. Bahkan hingga dunia ini menjadi kacau, orang saling meludah, mencecar, lari-lari menikam yang lain, kita berdua saja. Menyaksikan kekacauan itu bersama-sama di atas sofa. Harap-harap hujan dapat turun, dan kita bisa tidur dalam ketenangan yang membikin kita tidak sadar, bahwa sudah seabad lamanya kita terakhir terjaga.
Oh, aku pasti sangat merindukan sebuah kecup darimu lagi, sayangku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H