Lihat ke Halaman Asli

Ilmiawan

Mahasiswa

Mengulas Lagu-Lagu FSTVLST, Band Asal Jogja yang Underrated

Diperbarui: 29 Oktober 2021   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anggota FSTVLST. Sumber: instagram.com/fstvlst

"Hits Kitsch" sebuah album yang nakal dari band underrated asal Yogyakarta, FSTVLST (baca: festivalist). Mengapa underrated? Sebenarnya nama mereka cukup besar di tanah asalnya, tetapi kurang mendapatkan perhatian secara nasional. Sebelum menjadi FSTVLST, band ini memiliki nama Jenny. Lantas di tahun 2011, Farid Stevy dan kawan-kawan merubahnya menjadi FSTVLST untuk menghormati anggota band mereka yang keluar dengan terhormat. 

Membangun brand dengan tema "almost rock barely art", band ini dikenal sering memadukan musik dengan seni visual dalam pertunjukannya. Sementara hubungan mereka kepada para penggemarnya, FSTVLST cukup asik dengan sebuah konsep kesetaraan yang tidak mengharapkan adanya worshiping dari penggemar dengan kerap menyebut mereka dengan "festivalist" saja, sehingga tidak ada perbedaan 'kasta' di antara mereka.

Di tahun 2014, mereka merilis album bertajuk "Hits Kitsch", dan mungkin ini sebuah ulasan yang sangat telat. Namun tidak mengapa, justru saya sangat senang untuk mempromosikan mereka. Selain lirik-lirik yang cukup menarik dan kritis, permainan musik mereka sebelas dua belas dengan band idola saya, The Strokes. Hanya saja, lirik FSTVLST jauh lebih menarik ketimbang band asal NYC itu. 

Cover album "Hits Kitsch". Sumber: www.warningmagz.com

Album itu sukses membuat saya jatuh hati hingga saat ini. Saya cukup bangga mengatakan bahwa, "Hits Kitsch" adalah salah satu album Indonesia favorit saya. Bukan hanya karena album ini dinobatkan sebagai salah satu dari 20 Album Terbaik Indonesia tahun 2014 oleh Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Januari 2015. 

Tetapi juga karena kritik-kritik sosial yang dihadirkan dalam lagu-lagunya, sebut saja lagu "Hal-Hal Ini Terjadi", lagu spoken word yang lebih pantas disebut sebagai musikalisasi puisi ketimbang rock, namun cukup menarik perhatian. 

Tiap bait verse yang dinyanyikan selalu menimbulkan perasaan untuk terus mendengarnya hingga usai. Verse favorit saya di lagu ini, yaitu:

Di masa kau terlahir, orang-orang tersediakan jalan dan jembatan yang dibangun panjang dan kokoh. Siap menghantarkan ke mana saja. Tapi ada satu jalan yang sangat diminati, berjubellah orang-orang di situ. Adalah jalan pintas. Karena setapak demi setapak adalah buang waktu, bukan lagi proses. Karena belokan dan tanjakan adalah kebingungan yang memutusasakan, bukan lagi tantangan. Kau terlahir di masa maha pendek. 

Sebuah realita sosial dipaparkan secara terbuka oleh mereka, di mana masa sekarang sudah banyak yang meninggalkan satu jalan yang disebut proses, semua berlomba-lomba menjadi cepat. Kita terlupa, bahwa dengan proses akan menghasilkan kualitas.

Tak hanya itu, "Hari Terakhir Peradaban" kembali dengan lantang meneriakkan satu kritik sosial dalam masyarakat. Dengan musik yang selalu sukses menutup aksi panggung mereka di setiap pementasan dengan membuat para penonton membentuk lingkaran moshpit yang kasar namun seru. 

Penonton seakan dibuat terlupa akan 'kekejaman' di sekeliling mereka. Di lagu ini, mereka kembali memaparkan sebuah kenyataan yang menyedihkan di antara kita.

Dan inilah harinya para wanita. Menjadi budak atas kelaminnya. Penggalan lirik yang merujuk pada kian maraknya bisnis prostitusi, bahkan hingga merambah di kampus-kampus. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline