Keindahan pada dasarnya bersifat subjektif. Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing mengenai keindahan pada suatu benda. Beberapa orang menganggap benda bervariabel A lebih cantik ketimbang benda bervariabel B, beberapa orang yang lain menganggap justru sebaliknya. Setiap orang pasti memiliki alasan tersendiri dalam menilai keindahan suatu benda, baik itu campuran warna yang dipakai, makna yang disampaikan, sampai bagaimana benda tersebut berpengaruh (memiliki memori) dalam kehidupannya. Tak mungkin keindahan tidak memiliki alasan.
Begitupun dengan cinta, setiap cinta pasti memiliki alasan. Seseorang yang telah jatuh cinta tak mungkin semata-mata tersangkut pada seseorang itu, pasti ada suatu hal dari dirinya yang membuatnya jatuh hati.
Oleh sebab itu, saya menganggap omong kosong bagi seseorang yang mengatakan bahwa cinta tak memiliki alasan. Cinta pasti memiliki alasan, tapi tak semua orang menyadarinya.
Seandainya benar cinta tak memiliki alasan, apa yang membedakan B, C, D E, dan seterusnya? Mengapa A jatuh hati kepada B bukan pada variabel yang lain? Pasti A memiliki alasan tersendiri mengapa ia jatuh hati pada B.
Pada tulisan ini, saya ingin menyampaikan kecintaan saya terhadap sebuah buku karya Hunter S. Thompson yang diterbitkan pada tahun 1971 dengan judul Fear and Loathing in Las Vegas.
Saya yang pada awalnya tak memiliki ketertarikan kepada buku, melainkan sekedar senang mengoleksinya saja. Namun suatu malam, saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA, menemukan buku ini tergelatak di lorong asrama siswa kelas 3 bersanding dengan gumpalan-gumpalan kertas dan baju-baju bekas siswa kelas 3 yang saat itu sudah diperbolehkan pulang ke rumahnya masing-masing sebab Ujian Nasional sudah selesai dilaksanakan di pagi harinya.
Buku itu terlihat tak bernilai di lantai, tak satupun teman-teman saya yang tertarik untuk menjarah buku tersebut. Tampaknya buku-buku soal SBMPTN lebih dibutuhkan mereka.
Jujur saja, penulis saat itu tak pernah membaca novel, melainkan hanya sekedar cerita pendek yang terdapat dalam buku Bahasa Indonesia. Tak sedikitpun penulis memiliki ketertarikan pada dunia sastra, namun ketika melihat buku itu tak bernyawa di sana, penulis merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati dan itu sulit dideskripsikan, lantas mengambilnya dan membawanya ke kamar.
Singkat cerita, buku itu tak kunjung saya baca, melainkan hanya terpajang di antara buku-buku mata pelajaran SMA. Hingga pada suatu malam penulis terserang insomnia. Teringat pada sebuah saran di artikel-artikel: membaca buku dapat mengundang kantuk. Saat itulah penulis berniat untuk membaca buku itu hingga tertidur.
Namun tetap saja, kantuk tak kunjung datang. Alih-alih tidur, saya malah kebablasan membaca hingga bab 4 dan berhenti setelah dirasa malam semakin larut dan sebentar lagi subuh menjemput. Buku ini benar-benar meminta saya untuk terus dibaca.
Saran tersebut saya buktikan kurang tepat, harusnya ditulis, "membaca buku yang 'membosankan' dapat mengundang kantuk."