Lihat ke Halaman Asli

Liburan dalam Masa Tenggang

Diperbarui: 29 Januari 2019   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hiruk-pikuk kegiatan perdesaan telah tiada. Kesejukkan kampung halaman telah sirna. Keramahtamahan tetangga kanan kiri telah sepi tanpa sua. Bahkan cuitan yang dilontarkannya yang penuh do'a itu sudah tak terlihat oleh mata. Kini ku sudah harus dipaksa dan memaksakan diri untuk kembali ke perantauan. Sebuah tempat yang banyak memberikan arti sebuah kehidupan (real life). Sehingga ku menjadi orang yang terbiasa melakukakn sesuatu dengan apa adanya.

Tiada lagi makan yang sepiring berdua, dengan seorang pahlawan yang telah melahirkanku yaitu Ibu terbaikku. Bahkan sering sekali untuk makan sepiring bertiga dengan bapak terbaiku pula. Sembari ku memuluk nasi demi nasi tak sedikit cerita yang ku ceritakan kepada beliau, beliaupun sebaliknya menceritakn apapun dengan penuh makna dan harap untuk masa depanku kelak.

Ku makan masakan bentuk apapun terasa enak dan nikmat karena ku tak pernah memikirkan pengeluaran sedikitpun yang harus dibeli terlebih dahulu. Semua persediaan bahan makanan telah tersedia di sudut dapur kecil ibuku. Kini hanya ada selembar kertas minyak yang berisikan segumpal nasi dengan lauk yang telah ku beli, dalam lamunan ku merasa sedih akan kesendirian makan saat ini.

Tersadarlah aku dalam lamunan ketika suap demi suap nasi yang telah ku makan telah bersih ku santap. Kebiasaan liburan itu yang terlalu larut membawaku dalam suasana sebahagia dan bersantai kala itu. Ku tak menyalahkan akan sebuah keadaan. Berpikir positif kembali, kini satu per satu adik-adik mahasantriku berdatangan dengan penuh asa dan semangat berjuang kembali. Keadaan ini menandakan bahwa ku pula harus kembali pada aktivitas-aktivitas yang lama telah ku tinggalkan.

Tidak mudah untuk memulai sesuatu yang telah lama ditinggalkan. Akan tetapi, tidak mudah untuk mengakhiri cerita ini begitu saja. semuanya membutuhkan proses demi proses secara bertahap. Tempaan yang tak berujung mengajarkan ku menjadi seseorang yang lebih berfikir menjadi dewasa. Tidak hanya sebuah tempaan, tetapi juga sebuah tamparan keras yang menjadikan ku lebih kuat menghadapi apapun yang terjadi diluar dugaan diri ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline