Lihat ke Halaman Asli

NUZUL RAMADANI

Orang Biasa

Ibu atau Karir

Diperbarui: 25 Juni 2019   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Hsss..”, desis ibu menahan sakit, saat perawat memasang proses memasukkan infus ke sedikit permukaan punggung tangan ibu. Aku memegang tangan ibu, memberinya kekuatan untuk bertahan, meski tak menghilangkan rasa sakit itu. Ibu tidak mau dioperasi, karena pasti biaya mahal dan ekonomi kami saat ini sedang drastis menurun. Bapak datang dengan tergesa-gesa bawaannya dan bertanya padaku dengan cepat, “Ibu kenapa Fit?”.

“Ibu tadi kecelakaan dan terjatuh bersama sepeda motornya. Kakinya tertimpa sepeda motor cukup lama, karena jalanan sepi, tidak ada yang nolong ibu pak”, jelasku pelan-pelan, karena habis menangis melihat keadaan ibu.

“Astaghfirullahhal’adzim. Maafkan bapak bu, bapak terlalu sibuk”, ucap bapak kepada ibu.

Sejak kaki ibu tidak normal lagi, aku dan adikku yang kedua—Nisa harus lebih disiplin terhadap waktu. Mengerjakan beberapa pekerjaan sebelum pergi kuliah. Membuat sarapan, mencuci piring, membersihkan rumah, dan mengantar adik ke sekolah. Terkadang, kami terlambat dan pastinya kami pernah dimarahi dosen, meski tak sering.

                        “Kak, berhenti aja nyucinya. Tinggalin aja, mandi cepat”, ujar Nisa.

                        “Bentar lah ah”, sahutku.

                        “Udah jam 08.13 ini loh. Jam berapa lagi kita pergi”, ujarnya marah.

Aku secepat mungkin mencuci piring-piring dan mangkuk-mangkuk yang kotor. Tapi tetap tidak asal-asal mencuci. Aku tidak mau sisanya ibu yang mencuci.

                        “Udah Fit, udah. Tinggalkan saja sebagian”, pinta ibu. Tapi aku tetap mencucinya, tak mendengarkan ibu. Bukannya aku tidak mau menuruti ibu, tapi aku tidak tega bila dia harus berdiri menyelesaikan piring-piring kotor ini, belum lagi mengurus adik kecil kesana-kesini, sedangkan kakinya lemah.

Selesai itu, aku mandi tak terlalu lama. Dalam waktu yang tak sampai lima belas menit, aku selesai dan siap pergi ke kampus bersama Nisa. Tidak berbedak, tidak berwangi-wangi dengan parfum atau hand-body, tidak memakai lipglos apalagi lipstik.

Pokoknya kalau sudah telat lebih daripada batas menit yang diberi dosen, pasti kami ngos-ngosan masuk kelas, karena kami lebih sering terlambat. Berjalan cepat ala-ala lari pelan. Kalau lari kencang, nanti dikira para makhluk di universitas bahwa kami sedang lomba lari berdua. Jalan tapi secepat mungkin kedua kaki ini melangkah untuk sampai di tingkat tiga, terkadang di tingkat empat. Tergantung dosennya mau dimana. Terkadang, kami juga tak hanya jadi perhatian teman-teman kelas kami, karena ulah kami yang sering telat, tapi juga bagi para makhluk yang lagi tidak ada kerjaan memperhatikan dua gadis yang melangkah dengan cepat. Kami juga malu kalau diperhatikan. Seperti lomba jalan santai, tapi cepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline