Lihat ke Halaman Asli

Anisah Muzammil

Editor/Penulis

Hai, Jakarta! Kutitipkan Jasad Ibu di Bawah Naungan Langitmu

Diperbarui: 30 April 2023   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok pribadi

Kepada Kampung halaman, Kota Jakarta tercinta. Tempat aku dilahirkan. Tempat aku selalu datang ke sana ketika merasa tak nyaman dengan kehidupan. Tempat aku meminta pelukan di kala ingin menangis.  Kembali ke pangkuan Ibu. Berharap kasih sayangnya. Mendengar wejangannya yang tak akan pernah kulupa.

Namun, kini Kota Jakarta hanya menjadi kenangan. Tempat ibuku dikebumikan. Tempat penuh tangis dan perjuangan. 

Tak terasa sudah di penghujung bulan April. Bulan yang sama ketika Ibu berdiri di bawah payung mengawasi setiap bus yang lewat. Waktu itu hari hujan. Langit telah bergeser ke arah magrib. Ibu menungguku di antara derai hujan yang tidak deras, tetapi bukan juga gerimis. Beberapa bagian pakaiannya basah terkena tetesan hujan dari ujung payung.

"Bang! Ada anak saya?" katanya ketika ada bus Metromini 92 berhenti di depan Ibu.

"Yang mana anak Ibu?" sahut sang kondektur.

"SMP, Bang!" sahut Ibu.

"Banyak anak SMP nih, Bu! Yang kek mana anaknya?" Kondektur dengan logat batak itu berdiskusi dengan Ibu yang kelihatan bingung.

Aku menyeruak menerobos barisan penumpang yang saling berjejalan seolah tak sabar menunjukkan diri di hadapan Ibu yang berwajah lelah. "Ini aku, Bu! Aku baik-baik saja!" batinku saat itu.

Ibu, seseorang yang tak pernah berkata sayang dengan lisannya, tetapi rela menerobos hujan di jalan raya demi menunggu anak gadisnya yang tak kunjung sampai ke rumah. Waktu itu hari hujan. Dengan membawa satu payung, Ibu membagi sebagian besar payung itu untukku. Merangkul tubuhku agar tak kedinginan. Sampai di rumah, dengan cekatan Ibu menyajikan makanan hangat agar aku bisa makan dengan nikmat. Bukan makanan mewah. Hanya nasi hangat dan tempe goreng yang baru diangkat dari wajan. Namun, kurasakan ketika masuk ke mulutku ada rasa yang tak mampu terbayar oleh apa pun. Nikmat. Setelah makan, tubuhku diguyur air hangat agar aku bisa tidur dengan nyaman.

Kini, derai hujan memaksaku untuk mengingat puluhan tahun lalu yang penuh dengan perjuangan. Meskipun masa kecilku tidak seperti anak-anak lain yang selalu diisi dengan bermain. Namun, aku cukup bahagia menjadi anakmu, Ibu.

Kota Jakarta menjadi saksi perjuanganmu membesarkan aku dan anak-anakmu yang lain. Di antara kerasnya hidup. Di antara biaya hidup yang tidak kecil. Di antara cibiran orang atas ketidakberdayaan kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline