Lihat ke Halaman Asli

Pembatasan BBM, Memangnya Perlu Ya?

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kehebohan mengenai BBM kembali mencuat. BBM yang dimaksud di sini bukanlah Blackberry Messenger karena penulis tidak menggunakan gadget tersebut :) Hmm agak aneh memang kalau pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membatasi penjualan BBM premium. Apakah pemerintah tidak paham dengan efek yang akan ditimbulkan? Saya yakin sih paham. Apakah pemerintah sudah tidak sanggup lagi untuk memutar otak, mencari alternatif lainnya? Sebenarnya pembatasan BBM bersubsidi memang baik, tapi ada beberapa hal yang harus dicermati oleh pemerintah, sebelum kebijakan tersebut benar – benar ditempuh yaitu sebagai berikut.

1.Ketika masyarakat dipaksa beralih ke Pertamax atau BBM non subsidi lainnya, maka pelaku usaha kecil juga terkena imbasnya. Loh kok bisa? Jelas bisa. Lihat saja armada – armada transportasi yang digunakan oleh pengusaha kecil. (pickup, mobil jenis Hijet, dll). Hampir semua menggunakan plat berwarna hitam, yang artinya harus ikut juga “menenggak” Pertamax. Apa yang terjadi selanjutnya? Sudah pasti harga jual produk juga ikut terkatrol. Terus terus…apa lagi?? Yaaa syukur kalau masih ada yang sanggup dan mau beli (kalau sanggup saja belum cukup) :p . Kalau tidak ada yang mau beli? Lama kelamaan banyak pengusaha kecil yang gulung tikar. Yang artinya menambah pekerjaan rumah bagi pemerintah sendiri.

2.Pemain bensin dari luar negeri akan semakin mendapatkan konsumen. Nah loh? Masak sih? Makin ngawur ni penulis... Harga jual bensin oktan 92 dan 95 garapan Shell dan Petronas “sedikit” lebih terjangkau bila dibandingkan dengan garapan Pertamina sendiri. Pembatasan BBM subsidi jelas akan memberikan tambahan keuntungan bagi pemegang merek asing. (Sementara di sekitar Jakarta kali ya, penulis belum menemukan SPBU asing di Semarang)

3.Masalah klasik yang hingga kini belum diselesaikan pemerintah adalah masalah distribusi. Di kota – kota besar atau Kabupaten yang “agak” besar, Pertamax dan Pertamax Plus relatif mudah untuk dijumpai. Lantas bagaimana dengan kota – kota kecil? Sulit…. Bahkan untuk kota sekaliber Jogja, tidak semua SPBU menjual Pertamax Plus. Wooww…. Itu baru Pertamax Plus, bayangkan jika Gas?

Hmm lantas bagaimana dong solusinya? Karena masih dalam taraf belajar, maka penulis mencoba memberikan solusi yang menurut penulis itu baik. Syukur – syukur jika ada pengambil keputusan yang membaca tulisan saya ini :p .Solusi – solusi tersebut adalah sebagai berikut.

1.Sedikit menekan para pelaku industri otomotif untuk mengembangkan mesin dengan tingkat kompresi yang lebih tinggi. Minimal 1:10. Wah tinggi sekali itu!! *pentung penulis*. Tentu tidak. Karena meskipun mesin – mesin sekarang memiliki kompresi tinggi antara 1:9 hingga 1:10, masih banyak masyarakat yang tetap saja menggunakan Premium. Jadi, kompresi mesin harus ditinggikan minimal 1:10. Dengan demikian konsekuensi yang timbul adalah, harus menggunakan bensin dengan oktan minimal 92. Jika kurang dari 92, mesin akan lebih cepat rusak. Tentu konsumen akan berpikir dua kali jika tetap nekat menggunakan Premium. Hehehe.

Bagi para pelaku industri otomotif, jangan khawatir dagangannya tidak laku, sebab kendaraan roda empat sekarang sudah memasuki area kebutuhan, bukan lagi sekedar keinginan. Khusus untuk tipe – tipe mobil yang sering digunakan sebagai basis angkutan kota, kompresi mesin boleh dibuat ramah Premium.

2.Memperluas jaringan penjualan BBM non subsidi di Jawa dan luar Jawa. Sehingga ketika saatnya tiba, pemerintah boleh mewajibkan semua pemilik kendaraan plat hitam untuk menggunakan BBM non subsidi.

Meskipun demikian, penulis akan memberikan saran bagi para calon konsumen. Wah apa itu? Belilah mobil berbahan bakar disel, karena penulis belum pernah mendengar akan diberlakukan program pembatasan solar. Adanya Premium. :) hahaha…. Dan bahkan mungkin, kenaikan harga hanya akan berlaku untuk premium. Solar akan tetap adem ayem. Kenapa? Mungkin perusahaan ekspedisi (khususnya untuk bahan makanan) mayoritas menggunakan truk. Selain itu jumlah konsumsi premium jauh lebih besar dari solar... :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline